Kunci Surga
Label: kunci, surgaPenulis: Al-Ustadz Agus Su’aidi As-Sidawy
Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.
Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illalloh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu :
Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illalloh secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.”
(HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim).
Ketiga : Al-Qobulu (manerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illalloh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “
(QS. As-Shoffat : 35-36).
Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illalloh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “
(QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22).
Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).
Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).
Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).
Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).
Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya), maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).
Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.
Dinukil dari bulletin Dakwah Al-Bayyinah, edisi 07/02/20, diolah dan disusun kembali oleh Abu Abdirrahman.
(BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425)
Sumber : www.darussalaf.or.id
Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.
Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illalloh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu :
Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illalloh secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.”
(HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim).
Ketiga : Al-Qobulu (manerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illalloh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “
(QS. As-Shoffat : 35-36).
Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illalloh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “
(QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22).
Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).
Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).
Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).
Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).
Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya), maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).
Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.
Dinukil dari bulletin Dakwah Al-Bayyinah, edisi 07/02/20, diolah dan disusun kembali oleh Abu Abdirrahman.
(BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425)
Sumber : www.darussalaf.or.id
Ragam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya 2
Diposting oleh
Unknown
di
09.32
.
0
komentar
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Cara Zakat Biji-bijian dan Tumbuh-tumbuhan
Syarat-syarat zakatnya:
Mencapai nishab, yakni 5 wasaq, satu wasaq = 60 sha, 1 sha = 4 mud, 1 mud = 1 cupak dua tangan yang berukuran sedang . 4 mud = kurang lebih beratnya berkisar 2 ,5 - 3 kg. Memilikinya disaat diwajibkan mengeluarkan zakat yaitu di hari panen.
Dalilnya, sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya : "Tiada zakat pada yang kurang dari lima (5) wasaq." (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Sa’id al Khudry)
Firman Allah Ta’ala (yang artinya) : yang artinya, "Dan berikanlah haknya pada hari memanennya" (Al-An’am : 141)
Kadar yang wajib dikeluarkan untuk zakat
Kadar yang wajib dikeluarkan berbeda sesuai perbedaan sarana penyiramannya maka:
· Jika disiram tanpa membutuhkan beban seperti dengan aliran sungai, hujan, dan yang menyerap sari makanan sendiri dengan akarnya, maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/10 nya .
· Jika disiram dengan beban seperti yang disiram dari sumur maka yang wajib dikeluarkan adalah setengah 1/10 atau 1/20 nya.
Dalilnya, dalam shohih Bukhari dari hadits Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahualaihi wa sallam beliau bersabda : "Pada apa yang disiram dengan hujan dan mata air atau yang menyerap dengan akar-akarnya, 1/10 nya, dan pada yang disiram setengahnya 1/10" dan dalam riwayat Muslim dari hadits Jabir : "Pada apa yang disiram dengan sungai atau hujan 1/10 nya dan pada apa yang disiram setengahnya 1/10."
Cara Mengeluarkan Zakat Binatang Ternak
Disyaratkan selain syarat –syarat yang telah lalu dua syarat:
1. Binatang ternak tersebut adalah dipersiapkan untuk dikembangkan, diambil susunya bukan untuk dipekerjakan (Al-Mulakhos Fiqhy 1/225 oleh Al-Fauzan).
2. Binatang ternak tersebut khususnya unta dan kambing, adalah dari jenis “Sa-imah” artinya yang mencari maka sendiri, tidak diberi makan oleh pemiliknya dari makanan yang ia beli atau kumpulkan dari rerumputan atau yang selainnya, selama satu tahun atau lebih dari setengah tahun.
Khilaf (perbedaan) ulama’ sekitar masalah sa-imah
Apakah disyaratkan keadaan binatang ternak sebagai (saimah) yakni, binatang tersebut mencari makan sendiri ?
Jumhur (mayoritas) ahli fiqh mensyaratkannya, karena inilah yang difahami dari hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang tersebut dalam surat Abu Bakr dimana beliau mengatakan yang artinya (….Dan pada zakat kambing, pada kambing yang mencari makanan sendiri, jika…). (lihat hadits secara lengkap pada pembahasan, harta yang wajib dizakati)
Imam Malik dan Rabiah berkata : "Tidak disyaratkan."
Dawud ad Dzhahiry mengatakan : disyaratkan pada kambing, karena hadits tersebut, (yakni hadits abu Bakr, beliau katakan pada zakat kambing).
Lalu as Shanany mengatakan : dan juga pada onta karena Rasulullah juga mengatakan : (Dan pada onta yang mencari makan sendiri). HR. Abu Dawud dan Nasai dari hadits bahz bin hakim dari ayahnya, dari kakeknya, dan dishahihkan oleh Hakim dan syekh al Albany dalam Shohih Sunan Abi dawud no : 1575 (lihat Subulussalam 2/248)
Jadi nampaknya yang kuat adalah, bahwasannya hal itu disyaratkan pada kambing dan onta, karena yang tersebut dalam hadits hanya pada dua macam ini saja.
Wallahualam.
Tabel Perincian zakat binatang ternak
Keterangan :
Bintu Makhodl : Onta betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua.
Bintu labun : Onta betina yang genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Ibnu labun : Onta jantan yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hiqqoh : Onta betina yang telah genap berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat .
Jadz’ah : Onta betina yang telah genap berumur empat tahun dan memasuki tahun kelima .
(lihat sebagai tambahan hadits abu Bakr dalam pembahasan harta yang wajib dizakati)
Tabii’ : Sapi jantan yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Tabii’ah : Sapi betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Musinnah : Sapi betina yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hukum Auqhos
“Auqhos ” adalah bentuk jama’ dari kata “waqsh” yang artinya adalah jumlah antara dua nishab, misalnya nishab kambing yang pertama adalah 40 dan yang kedua 121 maka “aughos “ adalah jumlah 41 sampai 120, dalam syari’at Islam “auqhos” tidak ada zakatnya, jadi walaupun jumlah kambingnya 80 misalnya tetap zakatnya 1 ekor kambing . hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu seperti pada hadits Abu Bakr. (lihat harta yang wajib dizakati)
Kambing yang dikeluarkan untuk zakat
Jika dari jenis “dho’n” artinya “Dzatushuf” yakni yang berwoll seperti domba biri-biri dan yang semacamnya, maka yang dikeluarkan adalah “Jadz’” yakni yang berumur lengkap satu tahun.
Jika dari jenis “ ma’iz” artinya “ Dzatusya’r” yakni yang berambut seperti kambing kacang, dan kambing jawa, yang dikeluarkan adalah “ Tsany” yakni yang berumur dua tahun . penafsiran “ Jadz’” dan “Tsany” ini adalah pendapat jumhur pakar bahasa dan ulama’ (lihat Ahkamul Adhohi hal:) .
Disana ada pula pendapat lain yaitu bahwa “ Jadz’ “ adalah yang berumur 6 bulan sedang “ Tsany” adalah yang berumur satu tahun (mulakhos fiqhy 1:228)
Binatang – binatang yang tidak boleh dijadikan zakat:
· Harimah, yaitu yang berumur lanjut sampai jatuh giginya.
· Dzatu ‘awar ,yakni buta sebelah atau cacat yang nampak sehingga kalau dijadikan korban tidak sah.
· Makhidh yakni bunting.
· Rubba, yakni yang masih menyusui anaknya, atau yang dipelihara dirumah khusus untuk diambil susunya.
· Tharuqotul haml, yakni yang siap dibuntingi oleh pejantan.
· Tais, yakni pejantan, kecuali pemiliknya membolehkan.
· Karimah, yang sangat disukai/dihargai oleh pemiliknya, kecuali jika pemiliknya merelakannya.
· Akulah, yakni yang gemuk karena banyak makan dan disiapkan untuk dimakan oleh pemiliknya, atau yang mandul.
· Dzatu ‘aib, yakni semua yang memiliki cacat yang berpengaruh atau dianggap sebagai kekurangan menurut ahli binatang. (Ar Roudhurunnadiyyah 1/471) (Mulakhos Fiqhy 1/229).
· Darinah, yang berkudis.
· Maridhah, yang jelas sakitnya.
· Syarotul laimah, yang tidak lancar susunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya : "Dan jangan kalian mencari yang jelek, kamu infaqkan darinya sedang kalian tidak akan mengambil kecuali dalam keadaan memicingkan mata." Al-Baqarah:
Nabi juga bersabda : "Jauhilah olehmu (mengambil) harta-harta mereka yang berharga" . (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Abu Bakr yang telah lalu disebutkan, "….dan jangan dikeluarkan untuk zakat kambing yang sudah tua, punya cacat atau pejantan (yang diambil keturunannya) kecuali jika pemiliknya menghendakinya…." (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai)
Zakat syirkah (persekutuan) binatang ternak .
Jika binatang ternak dimiliki lebih dari satu orang maka seakan–akan itu satu pemilik, sehingga terkena hukum sebagaimana penjelasan diatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
· Jumlah gabungan tersebut mencapai nishab, walaupun masing-masing dari milik mereka tidak mencapai nishab.
· Pemilik binatang ternak tersebut adalah orang-orang yang berkewajiban membayar zakat, maka misalnya salah seorang dari mereka orang kafir, hukumnya menjadi masing-masing antara yang muslim dan yang kafir.
· Binatang persekutuan tersebut bergabung dalam gembalaan, lokasi kandang, lokasi tempat pemerahan dan pejantan . (Mulakhos Fiqhy 1/230)
Hal-hal terlarang pada zakat binatang persekutuan
· Dilarang menggabungkan sesuatu yang terpisah untuk menghindari zakat, contoh, dua orang yang masing-masing memiliki 40 ekor kambing, maka masing-masing terkena kewajiban zakat satu ekor kambing, karena untuk menghindari mengeluarkan 2 ekor kambing akhirnya mereka gabung, dimana dengan penggabungan ini mereka hanya terkena kewajiban 1 ekor kambing . hal yang semacam ini tidak boleh.
· Dilarang memisah yang tergabung untuk menghindari zakat. Contoh dua orang yang bersekutu dalam beternak kambing sampai mereka memiliki 40 ekor, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor kambing, tapi untuk menghindarinya mereka pisah binatang itu, dengan dipisahnya akhirnya milik masing-masing itu tidak mencapai nishab, maka tidak terkena kewajiban zakat. Hal ini juga terlarang.
Larangan itu berdasarkan hadits Abu Bakr yang berbunyi "…dan tidak boleh menggabungkan dua kelompok kambing yang terpisah atau memisahkan yang berkelompok karena takut dari kewajiban zakat…" . (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai) [ lihat pada artikel harta yang wajib dizakati]
Zakat Barang Dagangan
Tidak`ada zakat pada barang dagangan dengan ukaran, nishab dan haul tertentu, yang ada hanya shadaqah yang mutlak tidak di batasi dengan nishab, haul atau kadar tertentu yang harus dikeluarkan. Hal itu karena tidak ada dalil yang menunjukan demikian sehingga kita kembali kepada bara’ah asliyyah (kebebasan asal), dan kita telah ketahui bahwa pada zaman Nabi Shallallahu alaihi Wasallam perdagangan itu telah ada dengan berbagai macamnya, namun demikian tiada dalil yang shahih sampai kepada kita, yang menujukkan kewajiban mengeluarkan zakat secara khusus dari barang dagangan. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Shallallahu alaihi Wasallam yang mengatakan (artinya) “Tidaklah kewajiban seorang hamba untuk mengeluarkan zakat dari hamba sahayanya dan kudanya” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah), dimana keumuman hadits ini menunjukan tidak adanya zakat pada keduannya sama sekali dalam bentuk apapun termasuk jika menjadi barang dagangan..
Secara terperinci alasan pendapat ini adalah sebagai berikut :
· Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas dalam masalah ini.
· Kaidah “Al bara’atul asliyyah” yakni asal tiap sesuatu itu lepas dari beban hukum.
· Adanya barang dagangan di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, namun demikian tidak dinukilkan kepada kita hadits yang mewajibkan kepada kita akan diwajibkanya zakat padanya.
· Keumuman hadits “Tidaklah ada kewajiban zakat pada budak seorang muslim dan kudanya”. Shiddiq Hasan Khan mengatakan : Dhahir hadits itu tidak ada kewajiban zakat pada harta pada semua keadaan (termasuk dagangan .pent). [ar Raudhatun Nadiyyah 1:477] Abu Dawud dan Ibnu Hazm meriwayaykan dengan sanadnya yang sampai kepada Qais bin Abi ‘Arzah ia berkata : Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam melewati kami lalu beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sungguh (pada) perdagangan itu (didapati) kata-kata yang tiada faedahnya dan sumpah-sumpah maka bersihkanlah dengan shadaqah. "[HR. Abu Dawud kitabul buyu’ bab fit tijarah yukhalituhal halif wal laghwi3/403 no: 3326 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam shahih Sunan Abi Dawud pada nomor yang sama. dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabul buyu’ bab ma ja-a fittujjar watasmiyatunnabiy iyyahum 3/514 no:1208 dan berkata Tirmidzi: hadits ini Hasan Shahih, Nasa’I dalam kitab Aiman dan Nudzur bab lagwhi wal yamin 7/200 No: 3808 dan 3809 dan Ibnu Majah dalam kitab Tijarat bab tawaqqi fil hijarat 3/9/ no: 2145 ]. Ibnu Hazm berkata: Ini adalah shadaqah yang mutlak tidak terbatas, yakni sesuai yang senangi hati mereka dan itu menjadi kaffarah (penghapus) apa yang menodai perniagaan dari sesuatu yang tidak diperbolehkan dan sesuatu yang tidak berfaedah serta permainan. [ Al Muhalla 5/235]
· Nafi’ bin al khuzy berkata: saya duduk bersama Abdurrahman bin Nafi’ maka datanglah Ziyad al Bawwab lalu beliau berkata : Sesunguhnya Amirul Mukminin - yakni Abdullah bin Zubair – berkata : kirimkanlah zakat hartamu, maka ia berdiri dan mengeluarkan 100 dirham dan berkata kepadanya : sampaikan kepadanya salam dan katakan kepadanya sesungguhnya zakat itu hanya pada “Nadh”. Nafi’ berkata maka saya bertemu Ziyad dan aku katakan kepadanya : Apakah engkau sudah sampaikan kepadanya ? ia berkata : Ya. Aku katakan : Lalu apa yang dikatakan Ibnu Zubair ? Ia menjawab : Ya benar. [ Riwayat Abdurrozzaq dalam kitab al Mushannaf 4/101/7119 dan Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla 5/ 236]. Tentang arti “Nadh”, Al Fayyumy berkata: orang-orang Hijaz menamakan dirham dan dinar dengan sebutan “nadh” atau “naadh” (dengan memanjangkan nun). [Al Mishbahul Munir hal 610 huruf nun dan dhadh bertasydid] . Abu ‘Ubaid berkata: mereka menamakan “nadh” jika telah berubah menjadi uang dari sebuah barang. [ Qamus Muhith hal 844 ]
· Ibnu Juraij berkata, ‘Amr bin Dinar berkata kepada saya: Saya tidak berpendapat adanya zakat kecuali pada al ‘ain . [al mushonnaf karya Abdurrazzaq 4/101 no: 7120]. Arti ”Al ‘ain “, Al Fayyumi menerangkan, bahwa kata ini berarti beberapa makna diantaranya, emas yang ditimpa jadi uang-uang dinar dan terkadang yang belum ditimpa juga disebut demikian] [ Mshbahul Munir hal: 440] Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu ‘Ubaid ia berkata : telah mengkhabarkan saya Ismail bin Ibrahim dari Qathin bahwa ia berkata : Saya melawati daerah Washith dimasa Umar bin Abdul Aziz, mereka mengatakan: surat amirul mukminin telah dibacakan kepada kami yang isinya: Jangan kalian mengambil dari keuntungan barang dagangan sedikitpun sampai melewati haul [ al muhalla 5/2360 al amwal hal 421 no: 1144].
· Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Aku telah maafkan kalian dari zakat kuda.” [shahih lihat Shahih Sunan Abi Dawud kitab : shadaqah, Bab: shadaqah sa-imah no: 1573 dan1393, Shahih Sunan Tirmidzi:no:506, Shahih Sunan Ibnu Majah no: 1469 dan 1447, Shahih Jami’ no: 4375, dan Misykatul Mashabih no: 17400]. Kalau seandainya zakat perdagangan itu ada maka tentunya pada kuda itu ada zakatnya jika dijadikan barang dagangan, padahal Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam telah memaafkan !, apakah kita berani mewajibkan sesuatu yang Nabi telah maafkan ?!.
· Dari Jabir bin Abdillah ia berkata telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : “Tidak ada shadaqah pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada shadaqah pada onta yang kurang dari lima dzaud, dan tidak ada shadaqah pada kurma yang kurang dari lima wasaq”. (HR. Ahmad dan Bukhari dari hadits Abu Sa’id)
· Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. [Syaikh Al Albany berkata: atsar ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih. Lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka (ini) memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul Minnah hal: 364], atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
· Berkata Atha’: tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan sesuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual.[Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minnah 365]. Syaikh Al Albany berkata: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilai, nishab dan haulnya.
Di saat yang sama kita tahu bahwa banyak diantara ahli fikih mewajibkan zakat pada barang-barang dagangan dan merekapun berdalil dengan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka, tapi semua dalil yang mereka pakai, tidaklah lepas dari kritikan yang menunjukkan kelemahannya diantaranya:
1. Riwayat Jabir bin Samuroh : “Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kita persiapkan untuk berniaga”. (HR. Abu Dawud, Daruquthny, dan Bazzar), hadits ini ada kelemahannya yaitu pada sanadnya ada orang yang tidak dikenal, oleh karenanya Syekh Al Albany melemahkannya dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil No: 827. Tamamul Minnah No: 363, Silsilah Dha’ifah No: 1178. Berkata pula Ibnu hajar dalam kitab at Talkhisus Khabir 2/179 : Dalam sanadnya ada jahalah (rawi yang tidak dikenal)
2. Riwayat Imran bin Hushain secara marfu’(sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam): “pada untu ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian (dagang) ada zakatnya”. (HR. Hakim dan Daruquthny). Al Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan seluruh jalan hadits ini kecuali pada salah satunya dia katakana bahwa: ini tidak apa-apa, dan keadaaan hadits yang semacam ini tidaklah bisa dipakai sebagai dalil pada masalah yang sangat umum dikalangan kaum muslimin, lebih dari itu Ibnu Daqiq Al ‘Ied (seorang ahli hadits) telah melihat pada kitab Hakim (perawi hadits ini) yang berjudul Al Mustadrok, dengan lafadz (al bur) yang berarti gandum, bukan dengan lafadz (al baz) yang berarti pakaian dagangan. Adapun Daruquthny, dialah yang jelas meriwayatkan dengan lafadz (al baz) namun dari jalan atau sanad yang lemah. Yang demikian menjadikan adanya kemungkinan dari masing-masing dua hal, maka tidaklah sempurna berdalil dengan itu. (Raudhatun Nadiyyah 1/477). Didho’ifkan oleh syekh al Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 827 dan Tamamul Minnah hal 363)
3. Ijma’ (kesepakatan ulama’ tentang adanya zakat barang dagangan), seperti dinukilkan Ibnu Mundzir (kitab Al Ijma hal: 14 no 115). Kritik: Ijma’ yang beliau katakan tidak benar karena telah menyelisihinya Abdullah bin Zubair, Amr bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz dan ‘Atha’ [lihat al Muhalla 5/236 dan Tamamul Minnah hal: 365]
4. Dari Abu ‘Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata : saya menjual lauk pauk dan anak panah maka Umar bin Khattab melewati saya lalu ia berkata : Tunaikanlah zakat hartamu maka saya katakan wahai amirul mukminin : itu kan hanya lauk pauk, beliau berkata hitunglah nilainya lalu keluarkan zakatnya. [HR. Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Daruquthny, Baihaqi dan Abdurrozzaq]. Kritik : riwayat ini didhaifkan oleh Al Albany dalam Irwa’ul Ghalil no: 828 karena tidak dikenalnya (jahalah) Abu ‘Amr bin Hamas
5. Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. Berkata Syekh Al Albany : dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka ini memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul minnah hal: 364]. Atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
6. Berkata ‘Atha’ : Tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan susuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual. [HR, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dan dishahikan oleh Syaikh Al Albany dalam tamamul minnah 365]. Berkata syekh Al Albany: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilainya, nishob dan haulnya.
7. Adapun Khalid dia telah menahan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah . [HR Bukhari no : 1399 Muslim 2/676 no : 983].
8. Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ ia berkata saya menjadi penjaga baitul mal di zaman Umar bin Khattab, maka jika ia keluar …. Beliau mengumpulkan harta–harta para pedagang lalu menghitungnya baik yang ada dihadapan atau yang tidak, lalu beliau mengambil harta dari ….
9. Dari Abi Qilabah bahwasanya para pegawai umar berkata : wahai amirul mukminin sesungguhnya para pedagang mengeluh dari beratnya perhitungan, maka Umar menjawab : ha …ha..ringankanlah .
10. Dari Ibnu ‘ Abbas bahwasanya beliau berkata : tidak apa-apa menunggu sampai menjualnya, dan zakat wajib padanya.
11. Mereka katakan bahwa zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang .
Membagikan zakat kepada fakir miskin di daerah asal zakat
Pada asalnya zakat dibagikan kepada fakir miskin yang zakat tersebut berasal dari daerah mereka, karena merekalah yang paling berhak mendapatkan santunan, bantuan dan derma dari orang-orang kaya yang berada dalam satu daerah dengan mereka, lain halnya jika pada daerah asal zakat tersebut orang-orangnya sudah kecukupan maka, diperkenankan untuk memindahkannya ke daerah lain, inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan oleh :
Dari ‘Imron bin Hushain, bahwasanya ia dijadikan amil shadaqah , maka ketika dia pulang dikatakan kepadanya , mana harta (zakat)nya? , dia menjawab : "untuk hartakah engkau utus aku !? kami mengambil seperti halnya kami mengambil di zaman Nabi Shallallahualaihi wasallam dan kami meletakkannya seperti halnya kami meletakkannya di zaman Nabi Shallallahualaihi wasallam"). R Abu Dawud dan Ibnu majah dan disahihkan oleh al Albany dalam Sahih sunan Ibnu Majah no : 1476 dan Shohih Sunan Abi Dawud no:1625.
Ketita Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman beliau mengatakan : "Dan kabarkanlah kepada mereka, bahwasanya Allah Taala mewajibkan kepada mereka shadaqah/ zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin mereka." (R. Bukhary dan Muslim (lihat : Raudhatunnadiyyah 1/491-492).
Wallahu alam bis shawab
Maraji :
1. Al Mughny 4/248
2. Majmu Fatawa 20/15
3. Manarus Sabil 1/257
4. Al-Umm 4/166
5. Al Amwal hal: 429
(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Suaidi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)
Cara Zakat Biji-bijian dan Tumbuh-tumbuhan
Syarat-syarat zakatnya:
Mencapai nishab, yakni 5 wasaq, satu wasaq = 60 sha, 1 sha = 4 mud, 1 mud = 1 cupak dua tangan yang berukuran sedang . 4 mud = kurang lebih beratnya berkisar 2 ,5 - 3 kg. Memilikinya disaat diwajibkan mengeluarkan zakat yaitu di hari panen.
Dalilnya, sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya : "Tiada zakat pada yang kurang dari lima (5) wasaq." (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Sa’id al Khudry)
Firman Allah Ta’ala (yang artinya) : yang artinya, "Dan berikanlah haknya pada hari memanennya" (Al-An’am : 141)
Kadar yang wajib dikeluarkan untuk zakat
Kadar yang wajib dikeluarkan berbeda sesuai perbedaan sarana penyiramannya maka:
· Jika disiram tanpa membutuhkan beban seperti dengan aliran sungai, hujan, dan yang menyerap sari makanan sendiri dengan akarnya, maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/10 nya .
· Jika disiram dengan beban seperti yang disiram dari sumur maka yang wajib dikeluarkan adalah setengah 1/10 atau 1/20 nya.
Dalilnya, dalam shohih Bukhari dari hadits Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahualaihi wa sallam beliau bersabda : "Pada apa yang disiram dengan hujan dan mata air atau yang menyerap dengan akar-akarnya, 1/10 nya, dan pada yang disiram setengahnya 1/10" dan dalam riwayat Muslim dari hadits Jabir : "Pada apa yang disiram dengan sungai atau hujan 1/10 nya dan pada apa yang disiram setengahnya 1/10."
Cara Mengeluarkan Zakat Binatang Ternak
Disyaratkan selain syarat –syarat yang telah lalu dua syarat:
1. Binatang ternak tersebut adalah dipersiapkan untuk dikembangkan, diambil susunya bukan untuk dipekerjakan (Al-Mulakhos Fiqhy 1/225 oleh Al-Fauzan).
2. Binatang ternak tersebut khususnya unta dan kambing, adalah dari jenis “Sa-imah” artinya yang mencari maka sendiri, tidak diberi makan oleh pemiliknya dari makanan yang ia beli atau kumpulkan dari rerumputan atau yang selainnya, selama satu tahun atau lebih dari setengah tahun.
Khilaf (perbedaan) ulama’ sekitar masalah sa-imah
Apakah disyaratkan keadaan binatang ternak sebagai (saimah) yakni, binatang tersebut mencari makan sendiri ?
Jumhur (mayoritas) ahli fiqh mensyaratkannya, karena inilah yang difahami dari hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang tersebut dalam surat Abu Bakr dimana beliau mengatakan yang artinya (….Dan pada zakat kambing, pada kambing yang mencari makanan sendiri, jika…). (lihat hadits secara lengkap pada pembahasan, harta yang wajib dizakati)
Imam Malik dan Rabiah berkata : "Tidak disyaratkan."
Dawud ad Dzhahiry mengatakan : disyaratkan pada kambing, karena hadits tersebut, (yakni hadits abu Bakr, beliau katakan pada zakat kambing).
Lalu as Shanany mengatakan : dan juga pada onta karena Rasulullah juga mengatakan : (Dan pada onta yang mencari makan sendiri). HR. Abu Dawud dan Nasai dari hadits bahz bin hakim dari ayahnya, dari kakeknya, dan dishahihkan oleh Hakim dan syekh al Albany dalam Shohih Sunan Abi dawud no : 1575 (lihat Subulussalam 2/248)
Jadi nampaknya yang kuat adalah, bahwasannya hal itu disyaratkan pada kambing dan onta, karena yang tersebut dalam hadits hanya pada dua macam ini saja.
Wallahualam.
Tabel Perincian zakat binatang ternak
Keterangan :
Bintu Makhodl : Onta betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua.
Bintu labun : Onta betina yang genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Ibnu labun : Onta jantan yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hiqqoh : Onta betina yang telah genap berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat .
Jadz’ah : Onta betina yang telah genap berumur empat tahun dan memasuki tahun kelima .
(lihat sebagai tambahan hadits abu Bakr dalam pembahasan harta yang wajib dizakati)
Tabii’ : Sapi jantan yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Tabii’ah : Sapi betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Musinnah : Sapi betina yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hukum Auqhos
“Auqhos ” adalah bentuk jama’ dari kata “waqsh” yang artinya adalah jumlah antara dua nishab, misalnya nishab kambing yang pertama adalah 40 dan yang kedua 121 maka “aughos “ adalah jumlah 41 sampai 120, dalam syari’at Islam “auqhos” tidak ada zakatnya, jadi walaupun jumlah kambingnya 80 misalnya tetap zakatnya 1 ekor kambing . hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu seperti pada hadits Abu Bakr. (lihat harta yang wajib dizakati)
Kambing yang dikeluarkan untuk zakat
Jika dari jenis “dho’n” artinya “Dzatushuf” yakni yang berwoll seperti domba biri-biri dan yang semacamnya, maka yang dikeluarkan adalah “Jadz’” yakni yang berumur lengkap satu tahun.
Jika dari jenis “ ma’iz” artinya “ Dzatusya’r” yakni yang berambut seperti kambing kacang, dan kambing jawa, yang dikeluarkan adalah “ Tsany” yakni yang berumur dua tahun . penafsiran “ Jadz’” dan “Tsany” ini adalah pendapat jumhur pakar bahasa dan ulama’ (lihat Ahkamul Adhohi hal:) .
Disana ada pula pendapat lain yaitu bahwa “ Jadz’ “ adalah yang berumur 6 bulan sedang “ Tsany” adalah yang berumur satu tahun (mulakhos fiqhy 1:228)
Binatang – binatang yang tidak boleh dijadikan zakat:
· Harimah, yaitu yang berumur lanjut sampai jatuh giginya.
· Dzatu ‘awar ,yakni buta sebelah atau cacat yang nampak sehingga kalau dijadikan korban tidak sah.
· Makhidh yakni bunting.
· Rubba, yakni yang masih menyusui anaknya, atau yang dipelihara dirumah khusus untuk diambil susunya.
· Tharuqotul haml, yakni yang siap dibuntingi oleh pejantan.
· Tais, yakni pejantan, kecuali pemiliknya membolehkan.
· Karimah, yang sangat disukai/dihargai oleh pemiliknya, kecuali jika pemiliknya merelakannya.
· Akulah, yakni yang gemuk karena banyak makan dan disiapkan untuk dimakan oleh pemiliknya, atau yang mandul.
· Dzatu ‘aib, yakni semua yang memiliki cacat yang berpengaruh atau dianggap sebagai kekurangan menurut ahli binatang. (Ar Roudhurunnadiyyah 1/471) (Mulakhos Fiqhy 1/229).
· Darinah, yang berkudis.
· Maridhah, yang jelas sakitnya.
· Syarotul laimah, yang tidak lancar susunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya : "Dan jangan kalian mencari yang jelek, kamu infaqkan darinya sedang kalian tidak akan mengambil kecuali dalam keadaan memicingkan mata." Al-Baqarah:
Nabi juga bersabda : "Jauhilah olehmu (mengambil) harta-harta mereka yang berharga" . (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Abu Bakr yang telah lalu disebutkan, "….dan jangan dikeluarkan untuk zakat kambing yang sudah tua, punya cacat atau pejantan (yang diambil keturunannya) kecuali jika pemiliknya menghendakinya…." (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai)
Zakat syirkah (persekutuan) binatang ternak .
Jika binatang ternak dimiliki lebih dari satu orang maka seakan–akan itu satu pemilik, sehingga terkena hukum sebagaimana penjelasan diatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
· Jumlah gabungan tersebut mencapai nishab, walaupun masing-masing dari milik mereka tidak mencapai nishab.
· Pemilik binatang ternak tersebut adalah orang-orang yang berkewajiban membayar zakat, maka misalnya salah seorang dari mereka orang kafir, hukumnya menjadi masing-masing antara yang muslim dan yang kafir.
· Binatang persekutuan tersebut bergabung dalam gembalaan, lokasi kandang, lokasi tempat pemerahan dan pejantan . (Mulakhos Fiqhy 1/230)
Hal-hal terlarang pada zakat binatang persekutuan
· Dilarang menggabungkan sesuatu yang terpisah untuk menghindari zakat, contoh, dua orang yang masing-masing memiliki 40 ekor kambing, maka masing-masing terkena kewajiban zakat satu ekor kambing, karena untuk menghindari mengeluarkan 2 ekor kambing akhirnya mereka gabung, dimana dengan penggabungan ini mereka hanya terkena kewajiban 1 ekor kambing . hal yang semacam ini tidak boleh.
· Dilarang memisah yang tergabung untuk menghindari zakat. Contoh dua orang yang bersekutu dalam beternak kambing sampai mereka memiliki 40 ekor, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor kambing, tapi untuk menghindarinya mereka pisah binatang itu, dengan dipisahnya akhirnya milik masing-masing itu tidak mencapai nishab, maka tidak terkena kewajiban zakat. Hal ini juga terlarang.
Larangan itu berdasarkan hadits Abu Bakr yang berbunyi "…dan tidak boleh menggabungkan dua kelompok kambing yang terpisah atau memisahkan yang berkelompok karena takut dari kewajiban zakat…" . (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai) [ lihat pada artikel harta yang wajib dizakati]
Zakat Barang Dagangan
Tidak`ada zakat pada barang dagangan dengan ukaran, nishab dan haul tertentu, yang ada hanya shadaqah yang mutlak tidak di batasi dengan nishab, haul atau kadar tertentu yang harus dikeluarkan. Hal itu karena tidak ada dalil yang menunjukan demikian sehingga kita kembali kepada bara’ah asliyyah (kebebasan asal), dan kita telah ketahui bahwa pada zaman Nabi Shallallahu alaihi Wasallam perdagangan itu telah ada dengan berbagai macamnya, namun demikian tiada dalil yang shahih sampai kepada kita, yang menujukkan kewajiban mengeluarkan zakat secara khusus dari barang dagangan. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Shallallahu alaihi Wasallam yang mengatakan (artinya) “Tidaklah kewajiban seorang hamba untuk mengeluarkan zakat dari hamba sahayanya dan kudanya” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah), dimana keumuman hadits ini menunjukan tidak adanya zakat pada keduannya sama sekali dalam bentuk apapun termasuk jika menjadi barang dagangan..
Secara terperinci alasan pendapat ini adalah sebagai berikut :
· Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas dalam masalah ini.
· Kaidah “Al bara’atul asliyyah” yakni asal tiap sesuatu itu lepas dari beban hukum.
· Adanya barang dagangan di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, namun demikian tidak dinukilkan kepada kita hadits yang mewajibkan kepada kita akan diwajibkanya zakat padanya.
· Keumuman hadits “Tidaklah ada kewajiban zakat pada budak seorang muslim dan kudanya”. Shiddiq Hasan Khan mengatakan : Dhahir hadits itu tidak ada kewajiban zakat pada harta pada semua keadaan (termasuk dagangan .pent). [ar Raudhatun Nadiyyah 1:477] Abu Dawud dan Ibnu Hazm meriwayaykan dengan sanadnya yang sampai kepada Qais bin Abi ‘Arzah ia berkata : Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam melewati kami lalu beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sungguh (pada) perdagangan itu (didapati) kata-kata yang tiada faedahnya dan sumpah-sumpah maka bersihkanlah dengan shadaqah. "[HR. Abu Dawud kitabul buyu’ bab fit tijarah yukhalituhal halif wal laghwi3/403 no: 3326 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam shahih Sunan Abi Dawud pada nomor yang sama. dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabul buyu’ bab ma ja-a fittujjar watasmiyatunnabiy iyyahum 3/514 no:1208 dan berkata Tirmidzi: hadits ini Hasan Shahih, Nasa’I dalam kitab Aiman dan Nudzur bab lagwhi wal yamin 7/200 No: 3808 dan 3809 dan Ibnu Majah dalam kitab Tijarat bab tawaqqi fil hijarat 3/9/ no: 2145 ]. Ibnu Hazm berkata: Ini adalah shadaqah yang mutlak tidak terbatas, yakni sesuai yang senangi hati mereka dan itu menjadi kaffarah (penghapus) apa yang menodai perniagaan dari sesuatu yang tidak diperbolehkan dan sesuatu yang tidak berfaedah serta permainan. [ Al Muhalla 5/235]
· Nafi’ bin al khuzy berkata: saya duduk bersama Abdurrahman bin Nafi’ maka datanglah Ziyad al Bawwab lalu beliau berkata : Sesunguhnya Amirul Mukminin - yakni Abdullah bin Zubair – berkata : kirimkanlah zakat hartamu, maka ia berdiri dan mengeluarkan 100 dirham dan berkata kepadanya : sampaikan kepadanya salam dan katakan kepadanya sesungguhnya zakat itu hanya pada “Nadh”. Nafi’ berkata maka saya bertemu Ziyad dan aku katakan kepadanya : Apakah engkau sudah sampaikan kepadanya ? ia berkata : Ya. Aku katakan : Lalu apa yang dikatakan Ibnu Zubair ? Ia menjawab : Ya benar. [ Riwayat Abdurrozzaq dalam kitab al Mushannaf 4/101/7119 dan Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla 5/ 236]. Tentang arti “Nadh”, Al Fayyumy berkata: orang-orang Hijaz menamakan dirham dan dinar dengan sebutan “nadh” atau “naadh” (dengan memanjangkan nun). [Al Mishbahul Munir hal 610 huruf nun dan dhadh bertasydid] . Abu ‘Ubaid berkata: mereka menamakan “nadh” jika telah berubah menjadi uang dari sebuah barang. [ Qamus Muhith hal 844 ]
· Ibnu Juraij berkata, ‘Amr bin Dinar berkata kepada saya: Saya tidak berpendapat adanya zakat kecuali pada al ‘ain . [al mushonnaf karya Abdurrazzaq 4/101 no: 7120]. Arti ”Al ‘ain “, Al Fayyumi menerangkan, bahwa kata ini berarti beberapa makna diantaranya, emas yang ditimpa jadi uang-uang dinar dan terkadang yang belum ditimpa juga disebut demikian] [ Mshbahul Munir hal: 440] Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu ‘Ubaid ia berkata : telah mengkhabarkan saya Ismail bin Ibrahim dari Qathin bahwa ia berkata : Saya melawati daerah Washith dimasa Umar bin Abdul Aziz, mereka mengatakan: surat amirul mukminin telah dibacakan kepada kami yang isinya: Jangan kalian mengambil dari keuntungan barang dagangan sedikitpun sampai melewati haul [ al muhalla 5/2360 al amwal hal 421 no: 1144].
· Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Aku telah maafkan kalian dari zakat kuda.” [shahih lihat Shahih Sunan Abi Dawud kitab : shadaqah, Bab: shadaqah sa-imah no: 1573 dan1393, Shahih Sunan Tirmidzi:no:506, Shahih Sunan Ibnu Majah no: 1469 dan 1447, Shahih Jami’ no: 4375, dan Misykatul Mashabih no: 17400]. Kalau seandainya zakat perdagangan itu ada maka tentunya pada kuda itu ada zakatnya jika dijadikan barang dagangan, padahal Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam telah memaafkan !, apakah kita berani mewajibkan sesuatu yang Nabi telah maafkan ?!.
· Dari Jabir bin Abdillah ia berkata telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : “Tidak ada shadaqah pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada shadaqah pada onta yang kurang dari lima dzaud, dan tidak ada shadaqah pada kurma yang kurang dari lima wasaq”. (HR. Ahmad dan Bukhari dari hadits Abu Sa’id)
· Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. [Syaikh Al Albany berkata: atsar ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih. Lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka (ini) memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul Minnah hal: 364], atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
· Berkata Atha’: tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan sesuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual.[Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minnah 365]. Syaikh Al Albany berkata: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilai, nishab dan haulnya.
Di saat yang sama kita tahu bahwa banyak diantara ahli fikih mewajibkan zakat pada barang-barang dagangan dan merekapun berdalil dengan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka, tapi semua dalil yang mereka pakai, tidaklah lepas dari kritikan yang menunjukkan kelemahannya diantaranya:
1. Riwayat Jabir bin Samuroh : “Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kita persiapkan untuk berniaga”. (HR. Abu Dawud, Daruquthny, dan Bazzar), hadits ini ada kelemahannya yaitu pada sanadnya ada orang yang tidak dikenal, oleh karenanya Syekh Al Albany melemahkannya dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil No: 827. Tamamul Minnah No: 363, Silsilah Dha’ifah No: 1178. Berkata pula Ibnu hajar dalam kitab at Talkhisus Khabir 2/179 : Dalam sanadnya ada jahalah (rawi yang tidak dikenal)
2. Riwayat Imran bin Hushain secara marfu’(sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam): “pada untu ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian (dagang) ada zakatnya”. (HR. Hakim dan Daruquthny). Al Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan seluruh jalan hadits ini kecuali pada salah satunya dia katakana bahwa: ini tidak apa-apa, dan keadaaan hadits yang semacam ini tidaklah bisa dipakai sebagai dalil pada masalah yang sangat umum dikalangan kaum muslimin, lebih dari itu Ibnu Daqiq Al ‘Ied (seorang ahli hadits) telah melihat pada kitab Hakim (perawi hadits ini) yang berjudul Al Mustadrok, dengan lafadz (al bur) yang berarti gandum, bukan dengan lafadz (al baz) yang berarti pakaian dagangan. Adapun Daruquthny, dialah yang jelas meriwayatkan dengan lafadz (al baz) namun dari jalan atau sanad yang lemah. Yang demikian menjadikan adanya kemungkinan dari masing-masing dua hal, maka tidaklah sempurna berdalil dengan itu. (Raudhatun Nadiyyah 1/477). Didho’ifkan oleh syekh al Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 827 dan Tamamul Minnah hal 363)
3. Ijma’ (kesepakatan ulama’ tentang adanya zakat barang dagangan), seperti dinukilkan Ibnu Mundzir (kitab Al Ijma hal: 14 no 115). Kritik: Ijma’ yang beliau katakan tidak benar karena telah menyelisihinya Abdullah bin Zubair, Amr bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz dan ‘Atha’ [lihat al Muhalla 5/236 dan Tamamul Minnah hal: 365]
4. Dari Abu ‘Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata : saya menjual lauk pauk dan anak panah maka Umar bin Khattab melewati saya lalu ia berkata : Tunaikanlah zakat hartamu maka saya katakan wahai amirul mukminin : itu kan hanya lauk pauk, beliau berkata hitunglah nilainya lalu keluarkan zakatnya. [HR. Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Daruquthny, Baihaqi dan Abdurrozzaq]. Kritik : riwayat ini didhaifkan oleh Al Albany dalam Irwa’ul Ghalil no: 828 karena tidak dikenalnya (jahalah) Abu ‘Amr bin Hamas
5. Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. Berkata Syekh Al Albany : dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka ini memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul minnah hal: 364]. Atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
6. Berkata ‘Atha’ : Tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan susuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual. [HR, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dan dishahikan oleh Syaikh Al Albany dalam tamamul minnah 365]. Berkata syekh Al Albany: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilainya, nishob dan haulnya.
7. Adapun Khalid dia telah menahan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah . [HR Bukhari no : 1399 Muslim 2/676 no : 983].
8. Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ ia berkata saya menjadi penjaga baitul mal di zaman Umar bin Khattab, maka jika ia keluar …. Beliau mengumpulkan harta–harta para pedagang lalu menghitungnya baik yang ada dihadapan atau yang tidak, lalu beliau mengambil harta dari ….
9. Dari Abi Qilabah bahwasanya para pegawai umar berkata : wahai amirul mukminin sesungguhnya para pedagang mengeluh dari beratnya perhitungan, maka Umar menjawab : ha …ha..ringankanlah .
10. Dari Ibnu ‘ Abbas bahwasanya beliau berkata : tidak apa-apa menunggu sampai menjualnya, dan zakat wajib padanya.
11. Mereka katakan bahwa zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang .
Membagikan zakat kepada fakir miskin di daerah asal zakat
Pada asalnya zakat dibagikan kepada fakir miskin yang zakat tersebut berasal dari daerah mereka, karena merekalah yang paling berhak mendapatkan santunan, bantuan dan derma dari orang-orang kaya yang berada dalam satu daerah dengan mereka, lain halnya jika pada daerah asal zakat tersebut orang-orangnya sudah kecukupan maka, diperkenankan untuk memindahkannya ke daerah lain, inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan oleh :
Dari ‘Imron bin Hushain, bahwasanya ia dijadikan amil shadaqah , maka ketika dia pulang dikatakan kepadanya , mana harta (zakat)nya? , dia menjawab : "untuk hartakah engkau utus aku !? kami mengambil seperti halnya kami mengambil di zaman Nabi Shallallahualaihi wasallam dan kami meletakkannya seperti halnya kami meletakkannya di zaman Nabi Shallallahualaihi wasallam"). R Abu Dawud dan Ibnu majah dan disahihkan oleh al Albany dalam Sahih sunan Ibnu Majah no : 1476 dan Shohih Sunan Abi Dawud no:1625.
Ketita Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman beliau mengatakan : "Dan kabarkanlah kepada mereka, bahwasanya Allah Taala mewajibkan kepada mereka shadaqah/ zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin mereka." (R. Bukhary dan Muslim (lihat : Raudhatunnadiyyah 1/491-492).
Wallahu alam bis shawab
Maraji :
1. Al Mughny 4/248
2. Majmu Fatawa 20/15
3. Manarus Sabil 1/257
4. Al-Umm 4/166
5. Al Amwal hal: 429
(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Suaidi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)
KALIMAT PENUTUP DAURAH MASYAYIKH YANG DISAMPAIKAN OLEH SYAIKH KHALID BIN DHAHAWI AZH ZHAFIRI HAFIZHAHULLAH TA’ALA
Diposting oleh
Unknown
di
00.46
.
0
komentar
Bismillahirrahmanir Rahim
Satu kalimat dipagi hari ini, disebabkan karena tidak lama lagi kami akan melanjutkan perjalanan Insya Allah, maka saya berkata:
Pada hakekatnya, kami berterima kasih kepada kalian atas kesungguhan kalian untuk hadir (dalam daurah ini) dan semangat kalian untuk menuntut ilmu, dan perhatian kalian dan kemuliaan kalian dalam menjamu para tamu. Hal ini sangat jarang kami dapati di negeri- negeri yang lain. Sebagaimana yang telah kami katakan: bahwa tidaklah kami keluar meninggalkan negeri ini melainkan kami selalu merasa rindu untuk kembali lagi kepadanya, disebabkan apa yang kami saksikan dari persaudaraan yang jujur, dan perhatian yang besar kepada ilmu dari para ikhwan disini, dan pada kalian seluruhnya insya Allah.
Maka saya ingin wasiatkan kepada kalian wahai saudara-saudaraku karena Allah, aku nasehatkan untuk diriku dan juga kalian:
Pertama: untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan senantiasa ta’at kepada-Nya, menjauh dari berbagai macam syubhat dan syahwat, menjauh dari jalan syaitan, sebab bertaqwa kepada Allah merupakan keselamatan.
Sebagaimana aku nasehatkan kalian untuk perhatian terhadap ilmu, membaca kitab- kitab, dan bersungguh- sungguh padanya, mendengarkan kaset- kaset dan syrah- syarah dari kitab- kitab para ulama yang telah dikenal, dan tidak mengambil dari siapa saja yang didengar dan dibaca kitab- kitabnya, namun harus engkau mengetahui bahwa orang ini termasuk dari kalangan ahli ilmu yang dipercaya ilmu, manhaj dan juga aqidahnya, sehingga engkau tidak terjerumus kedalam syubhat yang dia sampaikan dalam keadaan kamu tidak merasakannya. Kalian harus menambah perhatian terhadap ilmu dan menuntut ilmu.
Kemudian aku nasehatkan pula kalian untuk bersungguh- sungguh pula dalam mempelajari bahasa Arab, cukup banyak dikalangan para ikhwan yang kami datang setiap tahun namun dia tetap saja berada dalam level yang sama dalam bahasa arab (tidak ada peningkatan,pen), tentu ini merupakan satu kekurangan.
Seorang penuntut ilmu, dia tidak mempelajari dan memperluas ilmunya hingga dia benar- benar menekuni bahasa Arab. Mayoritas kitab-kitab para ulama dan kebanyakannya dengan bahasa ini, Al-qur’an dan as-sunnah juga dengan bahasa ini. Kami tidak mengingkari kesungguhan para ikhwan dalam penerjemahan, dan yang semisalnya, namun ini tidaklah mencukupi dari membaca kitab- kitab yang berbahasa Arab, sebab penerjamahan tersebut tergantung pada pemahaman seorang penerjemah dan kepandaiannya dalam bahasa Arab, dan manusia bertingkat-tingkat dalam perkara ini.
Sebagaimana aku wasiatkan kalian untuk semangat dalam persatuan dan persaudaraan diantara kalian, dan saling menasehati diantara kalian dengan cara lemah lembut dan halus, terkhusus diantara para ikhwah salafiyyin, dan menjauh dari sebab-sebab perselisihan, perpecahan, dan sebab yang menyebabkan kalian lalai dalam berdakwah dan mengalami kemunduran dalam berdakwah. Semua itu penyebabnya adalah perselisihan yang terjadi diantara kita. Jika muncul permusuhan atau perselisihan, hendaknya kedua belah pihak berusaha untuk menyelesaikannya dengan berbagai jalan dan usaha.
فلا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم
“Janganlah kalian berselisih sehingga kalian terkalahkan dan hilang kekuatan kalian.”
Dengan perselisihan menyebabkan hilangnya kekuatan, dan dakwah terbengkalai, dan hilang kekuatan islam dan kaum muslimin.
Sebagaimana Aku wasiatkan kalian untuk berhati-hati dari yayasan- yayasan hizbiyah, sebab mayoritas kepentingan mereka terfokus pada kaum muslimin di luar negeri- negeri Arab, perhatian mereka terfokus disini, Indonesia, India, Pakistan, dan kebanyakan negeri- negeri yang jauh dari negeri- negeri Arab. Mereka mengerahkan kesungguhannya hingga mampu memalingkan manusia kepada hizbiyah mereka dan kepada hawa nafsunya, terkhusus apa yang mereka miliki dari fitnah, yaitu fitnah harta, dimana Yayasan Ihya At-Turats datang dan ingin menarik para pemuda dinegeri ini kedalam hizbiyahnya, dan mereka telah berhasil menarik dan menarik sambil membawa apa yang mereka miliki dari dunia, sehingga dakwah mereka tidak memberikan hasil, dan tidak menghasilkan kecuali kehinaan yang disebabkan terperosoknya kedalam lubang hizbiyah yang bid’ah. Demikian pula pada hari-hari belakangan ini Yayasan Darul Birr juga berusaha masuk ke tengah-tengah para ikhwan kita, namun akhirnya merekapun tersingkap walhamdulillah. Yayasan ini juga merupakan yayasan hizbiyah yang merupakan saudara kandung Ihya At-Turats, yang telah memberi bantuan kepada Abul Hasan Al-Ma’ribi dan mengundangnya ke Emirat Arb untuk mengadakan pengajian- pengajian, maka hendaknya berhati- hati dari hizbiyah dan yayasan ini.
Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullah:
(لا تجعل لصاحب بدعة عليك منة فيميل إليه قلبك )
“jangan engkau menjadikan ahli bid’ah berbuat baik kepadamu sehingga hatimu condong kepadanya.”
Ahli bid’ah jika datang kepadamu, memberikan sesuatu kepadamu, dan berbuat baik kepadamu dengan satu hal, dan memberikan kepadamu harta, pada awalnya mereka berkata: kami tidak menginginkan sesuatu kepadamu, dan kami tidak memberi persyaratan, kami hanya ingin membantumu saja. Namun sedikit demi sedikit hingga akhirnya mereka mampu menarikmu dan menarik dakwahmu, sehingga kamupun membela mereka. Hal ini merupakan hal yang disaksikan dan kenyataan yang terjadi pada kebanyakan mereka.
Engkau mengajar dan belajar dibawah pohon leih baik bagimu daripada binasa bersama hizbiyah – hizbiyah dan yayasan yang binasa ini, engkau tidak akan dapat menghasilkan ilmu, agama dan juga sunnah. Maka sepantasnya seseorang berhati- hati dari hizbiyah ini dan yang lainnya.
Inilah wasiat antuk diri saya pribadi dan juga untuk kalian, saya berharap kalian dapat menerimanya dan menyimaknya. Demikian pula saya ulangi kembali ucapan terima kasih atas kalian dan juga atas semangat kalian. Kami memohon kepada Allah Azza Wajalla agar memberi kami dan juga kalian kekokohan diatas sunnah, dan mematikan kami diatasnya, dan menjadikan penutup hidup kami dengan Laa Ilaaha Illallaaah, dan mewafatkan kami dan kalian dalam keadaan muslim, serta menjauhkan kami dari berbagai fitnah yang jahat baik yang nampak maupun yang tersembunyi berupa syubhat dan syahwat. Kami memohon kepada Allah agar melindungi kami darinya.
Jazakumullah khaeran wabaarakallahu fiikum
Wassalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Berikut transkrip dalambahasa Arab:
بسم الله الرحمن الرحيم
كلمة في هذا الصباح لأن رحلتنا تكون بعد قليل إن شاء الله فأقول : حقيقة نشكر لكم اجتهادكم في الحضور وحرصكم على طلب العلم واهتمامكم وكرم الضيافة . فهذا قلما نجده في أي بلد من البلدان وكما قلت: ما نخرج من هذا البلد حتى نتشوق إلى القدوم إليها مرة أخرى لما نراه من الأخوة الصادقة والاهتمام بالعلم عند الإخوة هنا وعندكم جميعا إن شاء الله
فأوصيكم إخوتي في لله أوصي نفسي وإياكم :
أولا: بتقوى الله تعالى والاهتمام بالطاعة والبعد عن الشبهات والشهوات والبعد عن سبيل الشيطان فإن تقوى الله هي النجاة
كما أوصيكم بالاهتمام في العلم والقراءة في الكتب والاجتهاد في ذلك وسماع الأشرطة وشروح الكتب من العلماء المعروفين وليس كل من هب ودب يسمع له ويقرأ في كتبه بل لا بد أن تعرف أن هذا الرجل من أهل العلم الموثوق في علمهم ومنهجهم وعقيدتهم حتى لا تهلك بشبهة يلقيها وأنت لا تلقي لها بالا. فلا بد من زيادة الاهتمام في العلم والتعلم. ثم أوصيكم بالاجتهاد أيضا في تعلم اللغة العربيه , كثير من الإخوة نأتي في كل سنة يكون بنفس المستوى في لغته وهذا حقا تقصير.
طالب العلم لم يتعلم ويتوسع في العلم حتى يتقن اللغة العربية , غالب كتب أهل العلم وأكثرها بهذه اللغة, والقرآن والسنة بهذه اللغة, فلا ننكر جهود الإخوة في الترجمة وغير ذلك لكن هذا لا يغني عن القراءة أو قراءة بكتب اللغة العربية , لأن الترجمة ترجع إلى فقه المترجم وإلى فهمه وإلى حسنه للغة . هذا يتفاوت فيه الناس .
كما أوصيكم بالحرص على التآلف والأخوة فيما بينكم ونصح بعضكم بعضا بالرفق واللين,خاصة بين الإخوة السلفيين والبعد عن أسباب الشقاق والفرقة واالأسباب التي تؤدي إلى انتكاس في الدعوة وضعة في الدعوة , كل ذلك يسببه الاختلاف فيما بيننا , فإن حصل عداء أو خلاف يحاول الطرفان في حله بشتى الطرق والسبل فلا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم بالتنازع تذهب الريح وتذهب الدعوة وتذهب قوة الإسلام والمسلمين
كما أوصيكم بالانتباه من الجمعيات الحزبية لأن اهتمامها في الغالب تركز على المسلمين في خارج بلاد العرب, تركزت جهودها هنا في أندونيسيا وفي الهند وفي باكستان وفي كثير من الدول التي تكون بعيدة عن بلاد العرب يبثون جهودهم حتى يستميلون الناس إلى حزبيتهم وإلى الأهواء خاصة بما عندهم من الفتنة وهي فتنة المال فتأتي جمعية إحياء التراث فتريد أن تأخذ الشباب في هذا البلد وقد أخذت وأخذت أن ذهب معها للدنيا فلم تثمر دعوتهم ولم يتحصل منه إلا الخزي بسبب انخراطه في مسلك التحزب والحزبية التي هي بدعة . وكذلك في الأيام الأخيرة حاولت جمعية البر في الدخول على إخواننا ولكنهم انقدحوا والحمد لله هذه الجمعية أيضا جمعية حزبية شقيقة إحياء التراث وهي التي نصر أبا الحسن المأربي وتدعوه تقيم له المحاضرات في الإمارات فينتبه إلى مثل هذه الحزبية والجمعيات. يقول عبد الله بن المبارك رحمه الله:
(لا تجعل لصاحب بدعة عليك منة فيميل إليه قلبك )
صاحب البدعة إذا جاءك وأعطاك وامتن عليك بأمر وأعطاك من المال وهم في البداية يقولون : نحن لا نريد منك شيئا ولا نريد شروطا ونريد أن نساعدك فقط لكن قليلا قليلا حتى يستدرجونك ويستدرجون دعوتك وتكون منهم تدافع عنهم هذا مشاهد وحاصل وهو الواقع في كثير
فلأن تدرس وتدرس تحت كل شجرة خير لك من أن تهلك مع هذه الحزبيات والجمعيات الهالكة , لن تتحصل لا على علم ولا على دين ولا على سنة فينبغي الحذر من هذه الحزبيات وغيرها
هذه وصية لكم لي ولكم أرجو أن تلقى قبولا واستماعا وأعيد الشكر وأكرره لكم وعلى حرصكم , نسأل الله عز وجل أن يثبتنا وإياكم على السنة , وأن يميتنا ويختم لنا بلا إله إلا الله وأن يتوفانا وإياكم مسلمين وأن يجيرنا بشر الفتن ما ظهر منها وما بطن وهو الشبهات والشهوات نسأل الله أن يعيذنا منها
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sumber : http://salafybpp.com/manhaj-salaf/134-nasehat-syaikh-khalid-bin-dhahawi-azh-zhafiri-hafizhahullah-taala.html
Satu kalimat dipagi hari ini, disebabkan karena tidak lama lagi kami akan melanjutkan perjalanan Insya Allah, maka saya berkata:
Pada hakekatnya, kami berterima kasih kepada kalian atas kesungguhan kalian untuk hadir (dalam daurah ini) dan semangat kalian untuk menuntut ilmu, dan perhatian kalian dan kemuliaan kalian dalam menjamu para tamu. Hal ini sangat jarang kami dapati di negeri- negeri yang lain. Sebagaimana yang telah kami katakan: bahwa tidaklah kami keluar meninggalkan negeri ini melainkan kami selalu merasa rindu untuk kembali lagi kepadanya, disebabkan apa yang kami saksikan dari persaudaraan yang jujur, dan perhatian yang besar kepada ilmu dari para ikhwan disini, dan pada kalian seluruhnya insya Allah.
Maka saya ingin wasiatkan kepada kalian wahai saudara-saudaraku karena Allah, aku nasehatkan untuk diriku dan juga kalian:
Pertama: untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan senantiasa ta’at kepada-Nya, menjauh dari berbagai macam syubhat dan syahwat, menjauh dari jalan syaitan, sebab bertaqwa kepada Allah merupakan keselamatan.
Sebagaimana aku nasehatkan kalian untuk perhatian terhadap ilmu, membaca kitab- kitab, dan bersungguh- sungguh padanya, mendengarkan kaset- kaset dan syrah- syarah dari kitab- kitab para ulama yang telah dikenal, dan tidak mengambil dari siapa saja yang didengar dan dibaca kitab- kitabnya, namun harus engkau mengetahui bahwa orang ini termasuk dari kalangan ahli ilmu yang dipercaya ilmu, manhaj dan juga aqidahnya, sehingga engkau tidak terjerumus kedalam syubhat yang dia sampaikan dalam keadaan kamu tidak merasakannya. Kalian harus menambah perhatian terhadap ilmu dan menuntut ilmu.
Kemudian aku nasehatkan pula kalian untuk bersungguh- sungguh pula dalam mempelajari bahasa Arab, cukup banyak dikalangan para ikhwan yang kami datang setiap tahun namun dia tetap saja berada dalam level yang sama dalam bahasa arab (tidak ada peningkatan,pen), tentu ini merupakan satu kekurangan.
Seorang penuntut ilmu, dia tidak mempelajari dan memperluas ilmunya hingga dia benar- benar menekuni bahasa Arab. Mayoritas kitab-kitab para ulama dan kebanyakannya dengan bahasa ini, Al-qur’an dan as-sunnah juga dengan bahasa ini. Kami tidak mengingkari kesungguhan para ikhwan dalam penerjemahan, dan yang semisalnya, namun ini tidaklah mencukupi dari membaca kitab- kitab yang berbahasa Arab, sebab penerjamahan tersebut tergantung pada pemahaman seorang penerjemah dan kepandaiannya dalam bahasa Arab, dan manusia bertingkat-tingkat dalam perkara ini.
Sebagaimana aku wasiatkan kalian untuk semangat dalam persatuan dan persaudaraan diantara kalian, dan saling menasehati diantara kalian dengan cara lemah lembut dan halus, terkhusus diantara para ikhwah salafiyyin, dan menjauh dari sebab-sebab perselisihan, perpecahan, dan sebab yang menyebabkan kalian lalai dalam berdakwah dan mengalami kemunduran dalam berdakwah. Semua itu penyebabnya adalah perselisihan yang terjadi diantara kita. Jika muncul permusuhan atau perselisihan, hendaknya kedua belah pihak berusaha untuk menyelesaikannya dengan berbagai jalan dan usaha.
فلا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم
“Janganlah kalian berselisih sehingga kalian terkalahkan dan hilang kekuatan kalian.”
Dengan perselisihan menyebabkan hilangnya kekuatan, dan dakwah terbengkalai, dan hilang kekuatan islam dan kaum muslimin.
Sebagaimana Aku wasiatkan kalian untuk berhati-hati dari yayasan- yayasan hizbiyah, sebab mayoritas kepentingan mereka terfokus pada kaum muslimin di luar negeri- negeri Arab, perhatian mereka terfokus disini, Indonesia, India, Pakistan, dan kebanyakan negeri- negeri yang jauh dari negeri- negeri Arab. Mereka mengerahkan kesungguhannya hingga mampu memalingkan manusia kepada hizbiyah mereka dan kepada hawa nafsunya, terkhusus apa yang mereka miliki dari fitnah, yaitu fitnah harta, dimana Yayasan Ihya At-Turats datang dan ingin menarik para pemuda dinegeri ini kedalam hizbiyahnya, dan mereka telah berhasil menarik dan menarik sambil membawa apa yang mereka miliki dari dunia, sehingga dakwah mereka tidak memberikan hasil, dan tidak menghasilkan kecuali kehinaan yang disebabkan terperosoknya kedalam lubang hizbiyah yang bid’ah. Demikian pula pada hari-hari belakangan ini Yayasan Darul Birr juga berusaha masuk ke tengah-tengah para ikhwan kita, namun akhirnya merekapun tersingkap walhamdulillah. Yayasan ini juga merupakan yayasan hizbiyah yang merupakan saudara kandung Ihya At-Turats, yang telah memberi bantuan kepada Abul Hasan Al-Ma’ribi dan mengundangnya ke Emirat Arb untuk mengadakan pengajian- pengajian, maka hendaknya berhati- hati dari hizbiyah dan yayasan ini.
Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullah:
(لا تجعل لصاحب بدعة عليك منة فيميل إليه قلبك )
“jangan engkau menjadikan ahli bid’ah berbuat baik kepadamu sehingga hatimu condong kepadanya.”
Ahli bid’ah jika datang kepadamu, memberikan sesuatu kepadamu, dan berbuat baik kepadamu dengan satu hal, dan memberikan kepadamu harta, pada awalnya mereka berkata: kami tidak menginginkan sesuatu kepadamu, dan kami tidak memberi persyaratan, kami hanya ingin membantumu saja. Namun sedikit demi sedikit hingga akhirnya mereka mampu menarikmu dan menarik dakwahmu, sehingga kamupun membela mereka. Hal ini merupakan hal yang disaksikan dan kenyataan yang terjadi pada kebanyakan mereka.
Engkau mengajar dan belajar dibawah pohon leih baik bagimu daripada binasa bersama hizbiyah – hizbiyah dan yayasan yang binasa ini, engkau tidak akan dapat menghasilkan ilmu, agama dan juga sunnah. Maka sepantasnya seseorang berhati- hati dari hizbiyah ini dan yang lainnya.
Inilah wasiat antuk diri saya pribadi dan juga untuk kalian, saya berharap kalian dapat menerimanya dan menyimaknya. Demikian pula saya ulangi kembali ucapan terima kasih atas kalian dan juga atas semangat kalian. Kami memohon kepada Allah Azza Wajalla agar memberi kami dan juga kalian kekokohan diatas sunnah, dan mematikan kami diatasnya, dan menjadikan penutup hidup kami dengan Laa Ilaaha Illallaaah, dan mewafatkan kami dan kalian dalam keadaan muslim, serta menjauhkan kami dari berbagai fitnah yang jahat baik yang nampak maupun yang tersembunyi berupa syubhat dan syahwat. Kami memohon kepada Allah agar melindungi kami darinya.
Jazakumullah khaeran wabaarakallahu fiikum
Wassalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Berikut transkrip dalambahasa Arab:
بسم الله الرحمن الرحيم
كلمة في هذا الصباح لأن رحلتنا تكون بعد قليل إن شاء الله فأقول : حقيقة نشكر لكم اجتهادكم في الحضور وحرصكم على طلب العلم واهتمامكم وكرم الضيافة . فهذا قلما نجده في أي بلد من البلدان وكما قلت: ما نخرج من هذا البلد حتى نتشوق إلى القدوم إليها مرة أخرى لما نراه من الأخوة الصادقة والاهتمام بالعلم عند الإخوة هنا وعندكم جميعا إن شاء الله
فأوصيكم إخوتي في لله أوصي نفسي وإياكم :
أولا: بتقوى الله تعالى والاهتمام بالطاعة والبعد عن الشبهات والشهوات والبعد عن سبيل الشيطان فإن تقوى الله هي النجاة
كما أوصيكم بالاهتمام في العلم والقراءة في الكتب والاجتهاد في ذلك وسماع الأشرطة وشروح الكتب من العلماء المعروفين وليس كل من هب ودب يسمع له ويقرأ في كتبه بل لا بد أن تعرف أن هذا الرجل من أهل العلم الموثوق في علمهم ومنهجهم وعقيدتهم حتى لا تهلك بشبهة يلقيها وأنت لا تلقي لها بالا. فلا بد من زيادة الاهتمام في العلم والتعلم. ثم أوصيكم بالاجتهاد أيضا في تعلم اللغة العربيه , كثير من الإخوة نأتي في كل سنة يكون بنفس المستوى في لغته وهذا حقا تقصير.
طالب العلم لم يتعلم ويتوسع في العلم حتى يتقن اللغة العربية , غالب كتب أهل العلم وأكثرها بهذه اللغة, والقرآن والسنة بهذه اللغة, فلا ننكر جهود الإخوة في الترجمة وغير ذلك لكن هذا لا يغني عن القراءة أو قراءة بكتب اللغة العربية , لأن الترجمة ترجع إلى فقه المترجم وإلى فهمه وإلى حسنه للغة . هذا يتفاوت فيه الناس .
كما أوصيكم بالحرص على التآلف والأخوة فيما بينكم ونصح بعضكم بعضا بالرفق واللين,خاصة بين الإخوة السلفيين والبعد عن أسباب الشقاق والفرقة واالأسباب التي تؤدي إلى انتكاس في الدعوة وضعة في الدعوة , كل ذلك يسببه الاختلاف فيما بيننا , فإن حصل عداء أو خلاف يحاول الطرفان في حله بشتى الطرق والسبل فلا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم بالتنازع تذهب الريح وتذهب الدعوة وتذهب قوة الإسلام والمسلمين
كما أوصيكم بالانتباه من الجمعيات الحزبية لأن اهتمامها في الغالب تركز على المسلمين في خارج بلاد العرب, تركزت جهودها هنا في أندونيسيا وفي الهند وفي باكستان وفي كثير من الدول التي تكون بعيدة عن بلاد العرب يبثون جهودهم حتى يستميلون الناس إلى حزبيتهم وإلى الأهواء خاصة بما عندهم من الفتنة وهي فتنة المال فتأتي جمعية إحياء التراث فتريد أن تأخذ الشباب في هذا البلد وقد أخذت وأخذت أن ذهب معها للدنيا فلم تثمر دعوتهم ولم يتحصل منه إلا الخزي بسبب انخراطه في مسلك التحزب والحزبية التي هي بدعة . وكذلك في الأيام الأخيرة حاولت جمعية البر في الدخول على إخواننا ولكنهم انقدحوا والحمد لله هذه الجمعية أيضا جمعية حزبية شقيقة إحياء التراث وهي التي نصر أبا الحسن المأربي وتدعوه تقيم له المحاضرات في الإمارات فينتبه إلى مثل هذه الحزبية والجمعيات. يقول عبد الله بن المبارك رحمه الله:
(لا تجعل لصاحب بدعة عليك منة فيميل إليه قلبك )
صاحب البدعة إذا جاءك وأعطاك وامتن عليك بأمر وأعطاك من المال وهم في البداية يقولون : نحن لا نريد منك شيئا ولا نريد شروطا ونريد أن نساعدك فقط لكن قليلا قليلا حتى يستدرجونك ويستدرجون دعوتك وتكون منهم تدافع عنهم هذا مشاهد وحاصل وهو الواقع في كثير
فلأن تدرس وتدرس تحت كل شجرة خير لك من أن تهلك مع هذه الحزبيات والجمعيات الهالكة , لن تتحصل لا على علم ولا على دين ولا على سنة فينبغي الحذر من هذه الحزبيات وغيرها
هذه وصية لكم لي ولكم أرجو أن تلقى قبولا واستماعا وأعيد الشكر وأكرره لكم وعلى حرصكم , نسأل الله عز وجل أن يثبتنا وإياكم على السنة , وأن يميتنا ويختم لنا بلا إله إلا الله وأن يتوفانا وإياكم مسلمين وأن يجيرنا بشر الفتن ما ظهر منها وما بطن وهو الشبهات والشهوات نسأل الله أن يعيذنا منها
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sumber : http://salafybpp.com/manhaj-salaf/134-nasehat-syaikh-khalid-bin-dhahawi-azh-zhafiri-hafizhahullah-taala.html
Doa Menyambut Bulan Ramadhan 1434 H
Label: 1434, bulan, doa, h, menyambut, ramadhanBulan Ramdhan 1434 H sebentar lagi tiba. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan. Bulan nan penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu berpuasa di bulan ini. Pada bulan ini pintu-pintu surga di buka, pintu-pintu neraka ditutup dan syaithan-syaithan di belenggu. Di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa tidak mendapatkan kebaikan di bulan ini, niscaya tidak ada kebaikan baginya.” (HR: Ahmad 8631).
DOA MENYAMBUT RAMADHAN
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ
(Alloohumma baarik lanaa fii Rojab wa Syaban, wabaarik lanaa fii Romadhon)
Artinya : “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban, serta berkahilah kami dalam bulan Ramadhan”
Keterangan:
Doa ini diambil dari hadits riwayat Ahmad (no. 2346 dan 2387). Doa tersebut dibaca sejak bulan Rajab.
Artinya : “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban, serta berkahilah kami dalam bulan Ramadhan”
Keterangan:
Doa ini diambil dari hadits riwayat Ahmad (no. 2346 dan 2387). Doa tersebut dibaca sejak bulan Rajab.
Tags yang terkait dengan bulan ramadhan: doa, menyambut bulan ramadhan, peristiwa bulan ramadhan 2013, bulan ramadhan tahun 2013, pengertian bulan ramadhan, bulan ramadhan wiki, bulan puasa ramadhan tahun 2013, bulan ramadhan adalah, bulan ramadhan 2014, bulan ramadhan 2013, ramadhan 1434 H.
Orang orang yang dilarang menerima zakat Maal
Diposting oleh
Unknown
di
08.45
.
0
komentar
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Orang-orang yang Diharamkan Menerima Zakat
Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah, sekarang akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh menerimanya, mereka adalah:
1. Orang-orang kafir dan mulhid.
Dalam hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang muslim.
Ibnul Mundzir berkata: "Telah ijma ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa seorang kafir dzimmi tidak diberi zakat maal sedikitpun."
2. Bani Hasyim
Yang dimaksud disini adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga Aqil, keluarga Jafar, keluarga Abbas serta keluarga Harits.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."
Hasan radiallahu anhu mengambil korma shadaqah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata: "Kuh,kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)
3. Bapak dan anak-anak sendiri
Telah sepakat fuqaha bahwasanya tiddak boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, karena orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan tidak mengeluarkan zakat.
4. Istri
Para ulama telah ijma bahwa seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini dikarenakan dia wajib menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua, kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk melunasi utangnya.
(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Suaidi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)
Orang-orang yang Diharamkan Menerima Zakat
Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah, sekarang akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh menerimanya, mereka adalah:
1. Orang-orang kafir dan mulhid.
Dalam hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang muslim.
Ibnul Mundzir berkata: "Telah ijma ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa seorang kafir dzimmi tidak diberi zakat maal sedikitpun."
2. Bani Hasyim
Yang dimaksud disini adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga Aqil, keluarga Jafar, keluarga Abbas serta keluarga Harits.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."
Hasan radiallahu anhu mengambil korma shadaqah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata: "Kuh,kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)
3. Bapak dan anak-anak sendiri
Telah sepakat fuqaha bahwasanya tiddak boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, karena orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan tidak mengeluarkan zakat.
4. Istri
Para ulama telah ijma bahwa seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini dikarenakan dia wajib menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua, kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk melunasi utangnya.
(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Suaidi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)
Dzikir dzikir Syari di Iedhul Fithri dan Adha
Diposting oleh
Unknown
di
00.30
.
0
komentar
Penulis: Al Ustadz Abdul Mu’thi
Tidak diragukan lagi bahwa Iedul Fithri dan Iedul Adha adalah hari-hari besar bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, mulai dari masa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam sampai saat ini. Dan dalam kitab-kitab sejarah disebutkan bahwa ‘Ied yang pertama kali disyariatkan Allah di dalam Islam adalah Idul Fithri yaitu pada tahun kedua Hijriah. (Subulus Salam karya Imam Ash Shon’ani cetakan Darul Rayyan Lit Turats jilid 2 hal 144).
Dua hari raya tersebut adalah sebagai ganti dari hari raya yang ada pada masa Jahiliyyah. Kaum Muslimin disunnahkan untuk menampakkan kegembiraan pada kedua hari agung itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Dari Anas Radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam datang ke Madinah sementara penduduk Madinah mempunyai dua hari yang mereka bermain-main padanya. Maka beliau bersabda, ‘Allah telah menggantikan kepadamu yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Abu Dawud dan Nasai dengan sanad SHAHIH)
Dengan adanya hadits ini, maka cukuplah bagi kita untuk ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan. Tidak perlu kita mengadakan perayaan-perayaan selain apa yang telah Allah tetapkan. Sebagaimana yang sering kita jumpai saat ini, seperti perayaan maulid Nabi, Isara’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, dan lain-lain. Semuanya itu akan menjerumuskan kita dalam perbuatan bid’ah.
Adanya kedua hari Raya itu juga mencegah kita agar tidak ambil bagian dalam perayaan hari besar orang-orang kafir, seperti Natal Bersama, Waisak, Galungan, dan lain sebagainya. Sebagian ulama bahkan telah mengambil istinbath hukum tentang makruhnya ikut bergembira pad hari raya orang-orang kafir dan musyrik tersebut. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al-Busty dari kalangan ulama Hanafiyah berkata: “Barangsiapa menghadiahkan sebutir telur kepada seorang musyrik dalam rangka mengagungkan hari raya mereka, maka dia telah kafir kepada Allah”. (Subulus Salam karya Imam Ash Shon’ani cetakan Darul Rayyan Lit Turats jilid 2 hal 145).
Idul Fithri dan Idul Adha adalah hari-hari bergembira bagi kita. Pada kedua hari itu, kita disunnahkan untuk mandi, memakai minyak wangi, dan berpakaian dengan pakaian yang paling bagus yang kita miliki (Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq jilid 1 hal 303 dan Subul Salam jild 2 hal 148). Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu’ dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam: “Beliau memakai burdah (pakaian bergaris untuk diselimutkan di badan) berwarna merah pada hari ‘Ied. (SHAHIH, lihat As-Shahihah karya Al Albani no. 1279)
Ibnul Qayyim berkata: “Nabi Shalallahu alaihi wassalam memakai pakaiannya yang paling bagus pada dua hari Raya (Iedhu Fithri dan Iedul Adha). Beliau juga memiliki perhiasan yang khusus dipakai pada dua hari raya tersebut dan pada hari Jum’at.”
Termasuk pula perkara-perkara yang masyru’ (disyariatkan) di hari ‘Ied ialah melakukan permainan-permainan yang mubah dan mendengarkan nasyid (nyanyian Islami) yang baik, yang dinyanyikan oleh dua orang jariyah (budak wanita kecil) sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dll. Akan tetapi, tentu saja semua itu tidak boleh sampai melalaikan kita dari ketaatan kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Disini akan disebutkan beberapa doa dan dzikir yang berkaitan dengan ‘Ied.
1. Takbir pada Hari ‘Ied
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara takbir Iedhul Fithri dan Iedhul Adha, meskipun para Ulama berbeda pendapat tentang kapan dimulainya takbir tersebut. (Lihat al Adzkar Imam An Nawawi cetakan Darul Huda hal 250). Tapi yang jelas pendapat yang kita pegangi adalah pendapat yang jumhur (mayoritas), yaitu yang menyatakan bahwa takbir Iedhul Fithri itu dimulai ketika keluarnya imam untuk sholat sampai permulaan khutbah. Imam Al Hakim pernah mengatakan : “Ini adalah sunnah yang telah biasa dilakukan oleh para Imam-Imam Ahlul Hadits dan telah shahih riwayat-riwayat dari Ibnu Umar dan sahabat yang lain mengenai hal ini.”
Adapun takbir Iedhul Adha (Ini merupakan riwayat paling shahih oleh sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’ 2/536) dimulai dari waktu subuh pada hari Arafah sampai Ashar hari-hari tasyriq yaitu hari ke 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan dilakukan pada setiap waktu. Lafadz yang paling shahih dalam bertakbir adalah sebagaimana dalam riwayat Imam Abdur Razzaq dari Salman :
كَبِّرُوْا... اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، كَبِيْرًا... {رواه عبد الرق بسند الصحيح}
“Bertakbirlah kamu : Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiira.” (Shohih, HR Imam Abdur Razzaq dari Salman Radiyallahu ‘anhu, lihat Subulus Salam 2/147)
Dan syaikh Al Albani membawakan riwayat dari Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu :
اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ { رواه ابن أبي شيبة و اسند الصحيح}
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu wallahu akbaru, Allahu akbar walillahil hamdu.”
Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, Allahu Maha Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allah-lah segala pujian. (HR Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud 2/168, Shohih, Al Albani dalam Tamamul Minnah cet. Darur Rayyah hal 356).
Ibnu Hajar Al Atsqolani dalam Fathul Bari mengatakan : “Dan pada zaman ini telah diada-adakan tambahan (lafadz takbir) itu yang tidak ada asalnya sama sekali.”
2. Ucapan Selamat pada hari Ied
Hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : (Artinya ) “Dari Jabir bin Nafir, berkata : Para Sahabat Nabi Shalallahu alaihi wassalam apabila mereka saling berjumpa pada hari Ied, satu sama lain saling mengucapkan :
(تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ)
Taqobalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalanmu).” (HR Al Mahamili dalam kitab Shalatul Iedain 2/129. Berkata al Hafidz Suyuthi : “Sanadnya Hasan (bagus)”. Lihat Tamamul Minnah karya al Albani hal 355).
Inilah beberapa dzikir yang berkaitan dengan hari Ied yang dinukilkan dari beberapa kitab para ulama. Semoga Allah memberi manfaat kepada seluruh kaum Muslimin dengan tulisan ini, sehingga kita semua termasuk dari hamba Allah yang selalu berdzikir kepada-Nya. Wallahu a’lam bish showab.
Maraji’ :
1. Subulus Salam oleh Imam as-Shon’ani
2. Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq
3. Tamamul Minnah karya Syaikh Nashiruddin al Albani
4. Fathul Bari karya al Hafidz Ibnu Hajar
5. Al Adzkar oleh Imam Nawawi
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi III/Syawwal/1416/1996, rubrik Dzikir, judul asli “Dzikir-Dzikir yang Disyariatkan pada Iedul Fithri Atau Iedul Adha”, penulis al Ustadz Abdul Mu’thi al Maidani).
Tidak diragukan lagi bahwa Iedul Fithri dan Iedul Adha adalah hari-hari besar bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, mulai dari masa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam sampai saat ini. Dan dalam kitab-kitab sejarah disebutkan bahwa ‘Ied yang pertama kali disyariatkan Allah di dalam Islam adalah Idul Fithri yaitu pada tahun kedua Hijriah. (Subulus Salam karya Imam Ash Shon’ani cetakan Darul Rayyan Lit Turats jilid 2 hal 144).
Dua hari raya tersebut adalah sebagai ganti dari hari raya yang ada pada masa Jahiliyyah. Kaum Muslimin disunnahkan untuk menampakkan kegembiraan pada kedua hari agung itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Dari Anas Radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam datang ke Madinah sementara penduduk Madinah mempunyai dua hari yang mereka bermain-main padanya. Maka beliau bersabda, ‘Allah telah menggantikan kepadamu yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Abu Dawud dan Nasai dengan sanad SHAHIH)
Dengan adanya hadits ini, maka cukuplah bagi kita untuk ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan. Tidak perlu kita mengadakan perayaan-perayaan selain apa yang telah Allah tetapkan. Sebagaimana yang sering kita jumpai saat ini, seperti perayaan maulid Nabi, Isara’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, dan lain-lain. Semuanya itu akan menjerumuskan kita dalam perbuatan bid’ah.
Adanya kedua hari Raya itu juga mencegah kita agar tidak ambil bagian dalam perayaan hari besar orang-orang kafir, seperti Natal Bersama, Waisak, Galungan, dan lain sebagainya. Sebagian ulama bahkan telah mengambil istinbath hukum tentang makruhnya ikut bergembira pad hari raya orang-orang kafir dan musyrik tersebut. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al-Busty dari kalangan ulama Hanafiyah berkata: “Barangsiapa menghadiahkan sebutir telur kepada seorang musyrik dalam rangka mengagungkan hari raya mereka, maka dia telah kafir kepada Allah”. (Subulus Salam karya Imam Ash Shon’ani cetakan Darul Rayyan Lit Turats jilid 2 hal 145).
Idul Fithri dan Idul Adha adalah hari-hari bergembira bagi kita. Pada kedua hari itu, kita disunnahkan untuk mandi, memakai minyak wangi, dan berpakaian dengan pakaian yang paling bagus yang kita miliki (Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq jilid 1 hal 303 dan Subul Salam jild 2 hal 148). Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu’ dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam: “Beliau memakai burdah (pakaian bergaris untuk diselimutkan di badan) berwarna merah pada hari ‘Ied. (SHAHIH, lihat As-Shahihah karya Al Albani no. 1279)
Ibnul Qayyim berkata: “Nabi Shalallahu alaihi wassalam memakai pakaiannya yang paling bagus pada dua hari Raya (Iedhu Fithri dan Iedul Adha). Beliau juga memiliki perhiasan yang khusus dipakai pada dua hari raya tersebut dan pada hari Jum’at.”
Termasuk pula perkara-perkara yang masyru’ (disyariatkan) di hari ‘Ied ialah melakukan permainan-permainan yang mubah dan mendengarkan nasyid (nyanyian Islami) yang baik, yang dinyanyikan oleh dua orang jariyah (budak wanita kecil) sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dll. Akan tetapi, tentu saja semua itu tidak boleh sampai melalaikan kita dari ketaatan kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Disini akan disebutkan beberapa doa dan dzikir yang berkaitan dengan ‘Ied.
1. Takbir pada Hari ‘Ied
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara takbir Iedhul Fithri dan Iedhul Adha, meskipun para Ulama berbeda pendapat tentang kapan dimulainya takbir tersebut. (Lihat al Adzkar Imam An Nawawi cetakan Darul Huda hal 250). Tapi yang jelas pendapat yang kita pegangi adalah pendapat yang jumhur (mayoritas), yaitu yang menyatakan bahwa takbir Iedhul Fithri itu dimulai ketika keluarnya imam untuk sholat sampai permulaan khutbah. Imam Al Hakim pernah mengatakan : “Ini adalah sunnah yang telah biasa dilakukan oleh para Imam-Imam Ahlul Hadits dan telah shahih riwayat-riwayat dari Ibnu Umar dan sahabat yang lain mengenai hal ini.”
Adapun takbir Iedhul Adha (Ini merupakan riwayat paling shahih oleh sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’ 2/536) dimulai dari waktu subuh pada hari Arafah sampai Ashar hari-hari tasyriq yaitu hari ke 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan dilakukan pada setiap waktu. Lafadz yang paling shahih dalam bertakbir adalah sebagaimana dalam riwayat Imam Abdur Razzaq dari Salman :
كَبِّرُوْا... اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، كَبِيْرًا... {رواه عبد الرق بسند الصحيح}
“Bertakbirlah kamu : Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiira.” (Shohih, HR Imam Abdur Razzaq dari Salman Radiyallahu ‘anhu, lihat Subulus Salam 2/147)
Dan syaikh Al Albani membawakan riwayat dari Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu :
اَلله أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ { رواه ابن أبي شيبة و اسند الصحيح}
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu wallahu akbaru, Allahu akbar walillahil hamdu.”
Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, Allahu Maha Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allah-lah segala pujian. (HR Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud 2/168, Shohih, Al Albani dalam Tamamul Minnah cet. Darur Rayyah hal 356).
Ibnu Hajar Al Atsqolani dalam Fathul Bari mengatakan : “Dan pada zaman ini telah diada-adakan tambahan (lafadz takbir) itu yang tidak ada asalnya sama sekali.”
2. Ucapan Selamat pada hari Ied
Hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : (Artinya ) “Dari Jabir bin Nafir, berkata : Para Sahabat Nabi Shalallahu alaihi wassalam apabila mereka saling berjumpa pada hari Ied, satu sama lain saling mengucapkan :
(تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ)
Taqobalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalanmu).” (HR Al Mahamili dalam kitab Shalatul Iedain 2/129. Berkata al Hafidz Suyuthi : “Sanadnya Hasan (bagus)”. Lihat Tamamul Minnah karya al Albani hal 355).
Inilah beberapa dzikir yang berkaitan dengan hari Ied yang dinukilkan dari beberapa kitab para ulama. Semoga Allah memberi manfaat kepada seluruh kaum Muslimin dengan tulisan ini, sehingga kita semua termasuk dari hamba Allah yang selalu berdzikir kepada-Nya. Wallahu a’lam bish showab.
Maraji’ :
1. Subulus Salam oleh Imam as-Shon’ani
2. Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq
3. Tamamul Minnah karya Syaikh Nashiruddin al Albani
4. Fathul Bari karya al Hafidz Ibnu Hajar
5. Al Adzkar oleh Imam Nawawi
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi III/Syawwal/1416/1996, rubrik Dzikir, judul asli “Dzikir-Dzikir yang Disyariatkan pada Iedul Fithri Atau Iedul Adha”, penulis al Ustadz Abdul Mu’thi al Maidani).
Definisi Sejarah Turunnya Syariat Shaum Ramadhan
Label: definisi, ramadhan, sejarah, shaum, syariat, turunnyaPenulis: Redaksi Mahad As Salafy
1. Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum
Secara Etimologi / Lughawi
Secara lughowi (bahasa) Ash-Shaum (الصَّوْمُ) bermakna (الإِمْسَاكُ) yang artinya menahan. Atas dasar itu berkata Al-Imam Abu ‘Ubaid dalam kitabnya Gharibul Hadits :
كُلُّ مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَمٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَهُوَ صَائِمٌ
“Semua orang yang menahan diri dari berbicara atau makan, atau berjalan maka dia dinamakan Sha`im (orang yang sedang bershaum).” [1])
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Taala :
) إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ( مريم: ٢٦
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]
Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas radiyallahu anhuma berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara. [2])
Secara Terminologi / Ishthilah
‘Ibarah (ungkapan) para ‘ulama berbeda dalam mendefinisikan ash-shaum secara tinjauan syar’i, yang masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Sehingga kami pun sampai pada kesimpulan bahwa definisi ash-shaum secara syar`i adalah :
إِمْسَاكُ الْمُكَلَّفِ عَنِ اْلمُفَطِّرَاتِ بِنِيَّةِ التَّعَبُّدِ للهِ مِنْ طُلُوعِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ
Usaha seorang mukallaf untuk menahan diri dari berbagai pembatal ash-shaum disertai dengan niat beribadah kepada Allah, dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Penjelasan definisi
1. Pernyataan “al-mukallaf” menunjukkan bahwa ash-shaum secara syar’i adalah yang dilakukan oleh para mukallaf yaitu orang-orang yang telah terkenai kewajiban ibadah, dari setiap muslim yang sudah baligh dan sehat akalnya. [3]
2. Pernyataan “dengan disertai niat beribadah kepada Allah” menunjukkan bahwa ash-shaum harus disertai dengan niat shaum sebagai sebuah bentuk ibadah kepada Allah Taala.
3. Pernyataan “dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ(البقرة: ١٨٧
Dan makan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu (cahaya) fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datangnya) malam. [Al-Baqarah : 187]
Footnote :
[1] Gharibul Hadits (I/325-326, 327). Lihat Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, awal Kitabush Shiyam.
[2] Lihat Tafsir Ibni Katsir tafsif surat Maryam ayat 26.
[3] Lihat hukum shaum bagi anak-anak yang belum baligh pada halaman
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=232)
2. Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. ([1])
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibannya yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.([2])
Tahapan awal berdasarkan firman Allah Taala :
(وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤
Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar radiyallahu anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama ([6]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” ([7])
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.([8])
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ radiyallahu anhu:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري وأبو داود]
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.”
[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud] ([9])
Footnote :
[1] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).
[2] Lihat Zadul Ma’ad Kitabus Shiyam jilid 2 hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507; Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 - [ 1145 ] dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadist no.2312
[6] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 - [ 1145 ]
[7] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no. 4505
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.
Peny : Sehingga dengan ini, ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku hukumnya orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum, dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=233#more-233)
(Dikutip dari tulisan redaksi Mahad As Salafy, Jember. Judul asli Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum, Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan. URL Sumber
http://www.assalafy.org/mahad/?p=232 & http://www.assalafy.org/mahad/?p=233#more-233) via http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1348
1. Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum
Secara Etimologi / Lughawi
Secara lughowi (bahasa) Ash-Shaum (الصَّوْمُ) bermakna (الإِمْسَاكُ) yang artinya menahan. Atas dasar itu berkata Al-Imam Abu ‘Ubaid dalam kitabnya Gharibul Hadits :
كُلُّ مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَمٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَهُوَ صَائِمٌ
“Semua orang yang menahan diri dari berbicara atau makan, atau berjalan maka dia dinamakan Sha`im (orang yang sedang bershaum).” [1])
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Taala :
) إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ( مريم: ٢٦
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]
Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas radiyallahu anhuma berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara. [2])
Secara Terminologi / Ishthilah
‘Ibarah (ungkapan) para ‘ulama berbeda dalam mendefinisikan ash-shaum secara tinjauan syar’i, yang masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Sehingga kami pun sampai pada kesimpulan bahwa definisi ash-shaum secara syar`i adalah :
إِمْسَاكُ الْمُكَلَّفِ عَنِ اْلمُفَطِّرَاتِ بِنِيَّةِ التَّعَبُّدِ للهِ مِنْ طُلُوعِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ
Usaha seorang mukallaf untuk menahan diri dari berbagai pembatal ash-shaum disertai dengan niat beribadah kepada Allah, dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Penjelasan definisi
1. Pernyataan “al-mukallaf” menunjukkan bahwa ash-shaum secara syar’i adalah yang dilakukan oleh para mukallaf yaitu orang-orang yang telah terkenai kewajiban ibadah, dari setiap muslim yang sudah baligh dan sehat akalnya. [3]
2. Pernyataan “dengan disertai niat beribadah kepada Allah” menunjukkan bahwa ash-shaum harus disertai dengan niat shaum sebagai sebuah bentuk ibadah kepada Allah Taala.
3. Pernyataan “dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ(البقرة: ١٨٧
Dan makan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu (cahaya) fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datangnya) malam. [Al-Baqarah : 187]
Footnote :
[1] Gharibul Hadits (I/325-326, 327). Lihat Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, awal Kitabush Shiyam.
[2] Lihat Tafsir Ibni Katsir tafsif surat Maryam ayat 26.
[3] Lihat hukum shaum bagi anak-anak yang belum baligh pada halaman
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=232)
2. Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. ([1])
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibannya yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.([2])
Tahapan awal berdasarkan firman Allah Taala :
(وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤
Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar radiyallahu anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama ([6]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” ([7])
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.([8])
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ radiyallahu anhu:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري وأبو داود]
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.”
[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud] ([9])
Footnote :
[1] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).
[2] Lihat Zadul Ma’ad Kitabus Shiyam jilid 2 hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507; Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 - [ 1145 ] dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadist no.2312
[6] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 - [ 1145 ]
[7] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no. 4505
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.
Peny : Sehingga dengan ini, ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku hukumnya orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum, dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=233#more-233)
(Dikutip dari tulisan redaksi Mahad As Salafy, Jember. Judul asli Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum, Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan. URL Sumber
http://www.assalafy.org/mahad/?p=232 & http://www.assalafy.org/mahad/?p=233#more-233) via http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1348
Hanya Doa Yang Dapat Mengubah Takdir
Diposting oleh
Unknown
di
07.00
.
0
komentar
Karena agungnya fadilah (kemuliaan) dan rahmat terhadap hamba-hamba-Nya, Allah menjadikan pintu yang luas agar mereka dapat mencari kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Allah akan bukakan pintu doa dan menjadikannya sebagai penolak takdir dengan seizin-Nya. Ini bukan pendapat atau pengakuan seseorang, tetapi jelas diterangkan oleh nash hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, serta diakui keshahihannya oleh Adz Zhahabi.
Nash (dalil) hadits yang dimaksud ialah hadits dari Sulaiman yang berkata,
bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan Allah) kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan." (HR Tirmidzi dalam kitab sunannya)
Kemudian, dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan: "Dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan. Tidak ada yang tidak dapat menolak takdir kecuali doa. Dan sesungguhnya seseorang laki-laki akan diharamkan baginya rezeki karena dosa yang diperbuatnya." (HR. Ibnu Majah dalam kitab sunannya).
Yang dimaksud kebaikkan dalam hadits ini ialah bersedekah dan bersilaturahmi sebagaimana dikuatkan oleh hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Annas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menginginkan agar diluaskan rezekinya dan dilambatkan ajalnya, hendaklah ia bersilaturahmi."
Bila takdir telah ditetapkan, ajal pun telah dituliskan. Bagaimana ketetapan itu bisa diubah dengan doa dan silaturrahmi?
Keduanya memang termasuk takdir. Tetapi, jika Allah berkehendak untuk menjauhkan keburukkan dari hamba-Nya, melimpahkan kebaikkan dari karunia-Nya, atau memanjangkan umur hamba-Nya, tidak ada yang mustahil. Allah pasti akan mengilhamkan kepada hamba-Nya. Faktor penyebab yang mengubah ketentuan-Nya (takdir) adalah perbuatan hamba-Nya sendiri dan Dia dapat memalingkan kepada yang dibenci-Nya dan memberikan kepada yang dicintai-Nya.
Imam Syaukani dalam Kitab Tuhfatudz Dzakiriin mengatakan bahwa hadits tersebut mengisyaratkan, bahwa apa yang telah ditetapkan Allah SWT terhadap hamba-Nya dapat ditolak dengan doa. Banyak hadits yang menerangkan tentang hal ini, bahkan ditegaskan pula dalam firman Allah SWT: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Ar Rad: 39).
Perlu diketahui, bahwa ketentuan takdir Allah ada dua macam, yakni:
Pertama, Takdir Maa Fii Lauhil Mahfuzh: takdir yang telah menjadi ketentuan Allah yang dituliskan dalam daftar takdir di Lauhil Mahfuzh [tempat dituliskannya daftar takdir, daftar amal, wahyu Al Quran (semacam papan tulis)].
Kedua, Takdir Maa Fii Ilmillah: ketentuan yang ada pada ilmunya Allah yang qodim (yang dahulu tanpa perrnulaan) dan ajali (tiada berawal dan tiada berakhir).
Selain ketentuan Allah yang Maa Fii Ilmillah, maka takdir itu dapatlah berubah dengan adanya permintaan dan doa dari seorang hamba. Sebagaimana telah ditegaskan pada ayat di atas bahwa Allah dapat saja menghapus ataupun menetapkan sesuatu yang ditetapkan-Nya dalam daftar di Lauhil Mahfuzh.
Sumber: Buku Dahsyatnya Doa Para Nabi.
Tags yang berkaitan dengan doa dan takdir: berdoa, adab berdoa, berdoa ketika haid, kelebihan berdoa, cara berdoa, berdoalah, cara berdoa kristen, berdoa ketika hujan, cara berdoa yang benar, takdir allah, jenis takdir, indahnya takdir, pengertian takdir, takdir opick melly goeslow, takdir dan jodoh, takdir jodoh, macam macam takdir.
Allah akan bukakan pintu doa dan menjadikannya sebagai penolak takdir dengan seizin-Nya. Ini bukan pendapat atau pengakuan seseorang, tetapi jelas diterangkan oleh nash hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, serta diakui keshahihannya oleh Adz Zhahabi.
Nash (dalil) hadits yang dimaksud ialah hadits dari Sulaiman yang berkata,
bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan Allah) kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan." (HR Tirmidzi dalam kitab sunannya)
Kemudian, dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan: "Dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan. Tidak ada yang tidak dapat menolak takdir kecuali doa. Dan sesungguhnya seseorang laki-laki akan diharamkan baginya rezeki karena dosa yang diperbuatnya." (HR. Ibnu Majah dalam kitab sunannya).
Yang dimaksud kebaikkan dalam hadits ini ialah bersedekah dan bersilaturahmi sebagaimana dikuatkan oleh hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Annas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menginginkan agar diluaskan rezekinya dan dilambatkan ajalnya, hendaklah ia bersilaturahmi."
Bila takdir telah ditetapkan, ajal pun telah dituliskan. Bagaimana ketetapan itu bisa diubah dengan doa dan silaturrahmi?
Keduanya memang termasuk takdir. Tetapi, jika Allah berkehendak untuk menjauhkan keburukkan dari hamba-Nya, melimpahkan kebaikkan dari karunia-Nya, atau memanjangkan umur hamba-Nya, tidak ada yang mustahil. Allah pasti akan mengilhamkan kepada hamba-Nya. Faktor penyebab yang mengubah ketentuan-Nya (takdir) adalah perbuatan hamba-Nya sendiri dan Dia dapat memalingkan kepada yang dibenci-Nya dan memberikan kepada yang dicintai-Nya.
Imam Syaukani dalam Kitab Tuhfatudz Dzakiriin mengatakan bahwa hadits tersebut mengisyaratkan, bahwa apa yang telah ditetapkan Allah SWT terhadap hamba-Nya dapat ditolak dengan doa. Banyak hadits yang menerangkan tentang hal ini, bahkan ditegaskan pula dalam firman Allah SWT: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Ar Rad: 39).
Perlu diketahui, bahwa ketentuan takdir Allah ada dua macam, yakni:
Pertama, Takdir Maa Fii Lauhil Mahfuzh: takdir yang telah menjadi ketentuan Allah yang dituliskan dalam daftar takdir di Lauhil Mahfuzh [tempat dituliskannya daftar takdir, daftar amal, wahyu Al Quran (semacam papan tulis)].
Kedua, Takdir Maa Fii Ilmillah: ketentuan yang ada pada ilmunya Allah yang qodim (yang dahulu tanpa perrnulaan) dan ajali (tiada berawal dan tiada berakhir).
Selain ketentuan Allah yang Maa Fii Ilmillah, maka takdir itu dapatlah berubah dengan adanya permintaan dan doa dari seorang hamba. Sebagaimana telah ditegaskan pada ayat di atas bahwa Allah dapat saja menghapus ataupun menetapkan sesuatu yang ditetapkan-Nya dalam daftar di Lauhil Mahfuzh.
Sumber: Buku Dahsyatnya Doa Para Nabi.
Tags yang berkaitan dengan doa dan takdir: berdoa, adab berdoa, berdoa ketika haid, kelebihan berdoa, cara berdoa, berdoalah, cara berdoa kristen, berdoa ketika hujan, cara berdoa yang benar, takdir allah, jenis takdir, indahnya takdir, pengertian takdir, takdir opick melly goeslow, takdir dan jodoh, takdir jodoh, macam macam takdir.
Haram hukumnya berpartisipasi dalam hari raya non Muslim
Label: berpartisipasi, dalam, haram, hari, hukumnya, muslim, non, rayaPenulis: Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta
Pertanyaan :
Apakah boleh berpartisipasi dengan kalangan non muslim dalam hari-hari Raya mereka, seperti hari ulang tahun misalnya?
Jawaban :
Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
"Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti termasuk golongan mereka."
Sementara Allah juga berfirman (yang artinya) :
"Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan; bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksanya.." (QS.Al-Maa-idah : 2)
Maka kami nasihat agar Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah-- sebuah buku yang amat bermutu sekali dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Saudi Arabia, Dewan Tetap Arab Saudi untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa, fatwa nomor 2540)
Pertanyaan :
Apa hukum syariat tentang partisipasi dalam perayaan atau even-even tahunan, seperti Hari Keluarga Internasional, Hari Cacat Nasional, Hari Manula Nasional, atau seperti perayaan-perayaan keagamaan semacam Isra dan Miraaj, Maulid Nabi, Hari Hijrah dan sejenisnya? Caranya dengan menyebarkan buletin, atau mengadakan ceramah-ceramah dan seminar Islam untuk memberi peringatan kepada orang banyak dan menasihati mereka?
Jawaban :
Al-Hamdulillah. Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan tersebut adalah Hari-hari Raya bidah dan ajaran bidah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah penjelasan tentang hal itu.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Berhati-hatilah terhadap amalan yang dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda: "Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah-- mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bidah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bidah semacam itu. Apalagi bentuk bidah itu adalah bidah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.
Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bidah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bidah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bidah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -Alaihissalam-- , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bidah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syiah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bidah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Taala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bidah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bidah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja."
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu Alam.
(Sumber : Masail wa Rasaail, Muhammad Al-Humud An-Najdi hal. 31. Dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta)
http://www.salafy.or.id
Pertanyaan :
Apakah boleh berpartisipasi dengan kalangan non muslim dalam hari-hari Raya mereka, seperti hari ulang tahun misalnya?
Jawaban :
Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
"Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti termasuk golongan mereka."
Sementara Allah juga berfirman (yang artinya) :
"Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan; bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksanya.." (QS.Al-Maa-idah : 2)
Maka kami nasihat agar Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah-- sebuah buku yang amat bermutu sekali dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Saudi Arabia, Dewan Tetap Arab Saudi untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa, fatwa nomor 2540)
Pertanyaan :
Apa hukum syariat tentang partisipasi dalam perayaan atau even-even tahunan, seperti Hari Keluarga Internasional, Hari Cacat Nasional, Hari Manula Nasional, atau seperti perayaan-perayaan keagamaan semacam Isra dan Miraaj, Maulid Nabi, Hari Hijrah dan sejenisnya? Caranya dengan menyebarkan buletin, atau mengadakan ceramah-ceramah dan seminar Islam untuk memberi peringatan kepada orang banyak dan menasihati mereka?
Jawaban :
Al-Hamdulillah. Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan tersebut adalah Hari-hari Raya bidah dan ajaran bidah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah penjelasan tentang hal itu.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Berhati-hatilah terhadap amalan yang dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda: "Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah-- mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bidah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bidah semacam itu. Apalagi bentuk bidah itu adalah bidah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.
Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bidah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bidah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bidah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -Alaihissalam-- , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bidah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syiah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bidah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Taala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bidah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bidah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja."
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu Alam.
(Sumber : Masail wa Rasaail, Muhammad Al-Humud An-Najdi hal. 31. Dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta)
http://www.salafy.or.id
Tabligh Akbar Bedah Buku Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah
Diposting oleh
Unknown
di
15.30
.
0
komentar
Alhamdulillah atas kemudahan dari Allah Subhanahu wa Taala, Insya Allah akan diadakan Bedah Buku/Tabligh Akbar yang akan dilaksanakan di Masjid Agung Sidrap, Sulsel. Tema dari acara tersebut adalah “Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah, Fiqih Berqurban, Sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah dan Hari Tasyriq”. Adapun rincian kegiatannya sebagai berikut :
Hari/Tanggal : Ahad, 30 Dzulqa’idah 1431 H. / 7 Nopember 2010 M.
Pukul : 09.30 WITA sampai selesai
Tempat : Masjid Agung Sidrap, Jl. Jend. Sudirman (Poros Pare-pare) Pangkajene Sidrap, Sulsel
Pemateri : Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafidzhahullah
Peserta : Ikhwan dan Akhwat (Terbuka untuk umum)
Insya Allah jika memungkinkan kegiatan ini juga akan disiarkan secara langsung di www.almakassari.com dan www.an-nashihah.com
Info Panitia : Abdul Majid, 081 355 132 485; Abu Abdillah Nasir, 085 237 970 144; Abu Ibrohim, 081 998 427 584.
Jazaakumullah khair.
FATWA ULAMA AHLUSSUNNAH TENTANG HUKUM NASYID “YAA THOYBAH YA DAWA’AL AYAANA”
Diposting oleh
Unknown
di
07.15
.
0
komentar
Penerjemah*) : Al-Ustadz Abu Abdirrahman Rahmat Hidayat
Hukum nasyid (ياطيبة يادواءالعيانا) yang beredar di tengah manusia dengan bentuk yang tidak benar, sehingga kami mengharap agar disebarkan hukum nasyid tersebut di tengah manusia.
1. JAWABAN ASY-SYAIKH SHOLIH BIN SA’AD AS-SUHAIMI –SEMOGA ALLAH MENJAGA BELIAU-
* HATI-HATILAH DARI NASYID-NASYID KEKAFIRAN DAN BERBAU SHUFIYAH *
Soal : Berkata (penanya) : Disana ada nasyid-nasyid Islami yang berbunyi “Wahai Allah, dengan penglihatan dari mata yang pengasih, mengobati semua yang ada pada diriku berupa penyakit-penyakit” apakah dalam nasyid ini ada masalah?
Jawaban : Saya tidak mengetahui apakah dia memaksudkan dari kalimat : dari mata yang pengasih apakah dia maksudkan bahwa dia berdo’a kepada Allah agar Dia menguasakan kepada salah seorang dari makhluk-Nya atau dia memaksudkan Allah Ta’ala sendiri.
(Yang jelasnya) atas apapun yang dimaksudkan, walaupun dia memaksudkan Allah Ta’ala, tetap tidak boleh (berdo’a) dengan ibarat-ibarat seperti ini. (sebab) sifat-sifat tersebut tidak boleh berdo’a kepada sifat-sifat / dimintai darinya, memang benar Allah memiliki mata, Allah memiliki dua mata tentunya mata penglihatan yang sesuai dengan Kemuliaan-Nya dan Keagungan-Nya, akan tetapi jangan Anda berdo’a dengan mengatakan : Wahai mata penglihatan Allah, sampai-sampai sebagian ulama mengatakan kalau dia berdo’a kepada sifat Allah maka dia kafir, jadi kalau dia berkata : Wahai kekuasaan Allah, Wahai Rahmat Allah, Wahai Tangan Allah, Wahai Ni’mat Allah, maka dia kafir sebagaimana disebutkan dari kebanyakan Ulama. Akan tetapi wahai saudaraku sekalian hendaknya engkau berdo’a dengan do’a-do’a yang jelas datangnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak ada hajat engkau dengan lafadz-lafadz meragukan ini yang terkadang dapat menjerumuskan Anda kepada perbuatan bid’ah atau kesyirikan, berhati-hatilah dari bid’ah dan kesyirikan. Dan hendaknya Anda mengembalikan segala lafadz-lafadz kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Yang jelasnya, berkaitan dengan nasyid-nasyid ini, saya ingin memperingatkan kalian dengan sesuatu yang terlintas di benak saya sekarang ini, apa yang ada di sekitar Al-Haram (Masjid Nabawi) disana dijual kaset “Yaa Thaibah ….. Yaa Thaibah …..” ini adalah kesyirikan, merupakan bentuk kesyirikan dari asalnya karena berdo’a kepada Thaibah (nama lain kota Madinah) sama dengan berdo’a kepada selain Allah Subhanahu wa Taala! Juga lafadz “Wahai Penawar Derita” siapakah yang menyembuhkan, Allah Subhanahu wa Taala atau Taibah?? Jadi, jika engkau berdo’a kepada Thaibah untuk kesembuhanmu maka engkau telah melakukan kesyirikan.
Inilah yang terjadi bahkan tersebar diantara anak-anak sekarang ini, tersebar di HP/telpon genggam, bahkan tersebar dimana-mana nasyid “Yaa Thaibah ….. Yaa Thaibah …..” disini di samping masjid Nabawi (di toko-toko) tasjilat, maka bertaqwalah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap diri Anda. Karena disana ada lafadz-lafadz yang dilantunkan sebagian manusia padahal lafadz-lafadz tersebut padanya kekufuran sementara dia tidak tahu, orang itu tidak tahu dan tidak menyadari bahwa lafadz- lafadz tersebut adalah kekafiran. Apakah dia mendapat udzur di sisi Allah Subhanahu wa Taala atau tidak? Kita tidak tahu, akan tetapi lafadz tersebut adalah kesyirikan dan dia melakukan perbuatan syirik. Maka berhati-hatilah! Jangan kalian mendengar segala sesuatu. Saya memiliki suatu kaset kemungkinan di dalamnya ada ratusan kalimat yang sering dilantunkan sebagian manusia khususnya di negara – negara Arab, maka berhati-hatilah Anda terhadap perkara ini!
2. TRANSKRIP FATWA ASY-SYAIKH SHOLIH BIN SA’AD AS-SUHAIMI
Soal : Berkata (Penanya) semoga Allah berbuat baik untuk Anda – didapati permainan untuk anak-anak yang di dalamnya ada nasyid yang menyebutkan : “Yaa Thaibah ….. Yaa Dawaal Ayana …..” apakah ini teranggap istigatsah kepada selain Allah Subhanahu wa Taala?
Jawaban : Ya, Nasyid ini “Yaa Thaibah ….. Yaa Dawaal Ayana …..” di dalamnya terdapat bau kesyirikan dan terkadang menjadi bentuk kesyirikan secara nyata/terang-terangan. Dan sungguh telah ditanyakan kepada Masyaikh Kibar/Ulama Besar dimana waktu itu saya berada bersama mereka dua hari yang lalu, maka diantara mereka ada yang menyatakan dengan terang – terangan dan pasti bahwa hal itu adalah kesyirikan dan diantara mereka ada yang berkata bahwa itu di dalamnya terdapat bau kesyirikan, sebab hal itu adalah bentuk doa dan panggilan. Dan panggilan dengan jenis ini adalah kesyirikan. Maka yang menyembuhkan penyakit adalah Allah Azza wa Jalla sebagaimana dalam ayat : (Nabi Ibrahim berkata : dan Apabila saya sakit maka Dialah (Allah) yang menyembuhkanku), jadi engkau memanggil/menyeru kepada Thaibah Al-Madinah – dan memang kita semua mencintai Thaibah/Kota Madinah, akan tetapi kecintaan kita tersebut tidak menjadikan kita beristighatsah dengannya atau dengan tanahnya atau dengan apa yang ada terdapat di dalamnya. Ini tidak boleh sama sekali. Bahkan hal ini – wal iyadzu Billah – (dan Allah tempat berlindung) dikhawatirkan sebagai perbuatan syirik, maka kewajiban kita untuk menjauhi segala sesuatu yang di dalamnya terdapat kesyirikan atau hal – hal yang berbau syirik.
Dan nampak bagi saya bahwa hal tersebut adalah perbuatan syirik karena merupakan bentuk panggilan (meminta hajat) sebagaimana halnya (termasuk kesyirikan) jika Anda berkata (memanggil) : wahai Ali, wahai Muhammad, wahai Amr, wahai Zaid apalagi kalau dikaitkan dengan meminta penawar derita orang sakit. Nasyid – nasyid ini yang kita dengar sekarang ini, banyak beredar di sekitar hotel – hotel (dekat masjid Nabawi) dan di toko – toko, semua itu wajib dihilangkan/dimusnahkan.
Sungguh merupakan kewajiban untuk dihilangkan karena dia merupakan kemungkaran dimana menjadi kewajiban atas mereka yang memiliki wewenang dalam hal ini untuk menghilangkannya/memusnahkannya.
Ya, demikian pula halnya dengan apa yang kebanyakan dikenal dengan nasyid – nasyid Islami yang isinya dari jenis (yang haram) ini. Kebanyakan dari nasyid – nasyid tersebut, tidak luput dari bentuk – bentuk doa sepenuh hati dan istigatsah atau bentuk lagu/bernada, menyerupai nada kaum wanita atau yang semisal itu.
3. FATWA ASY – SYAIKH UBAID AL-JABIRI – SEMOGA ALLAH MENJAGANYA –
Soal : - Semoga Allah berbuat baik untuk Anda – penanya berkata : Akhir – akhir ini bermunculan nasyid – nasyid yang didalamnya terdapat sebagian lafadz – lafadz yang bermasalah, seperti perkataan : “Yaa Thaibah ... Yaa Thaibah ... Yaa Dawaal Ayaana” apakah lafadz – lafadz ini merupakan kesyirikan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban : Kebanyakan nasyid – nasyid semisal yang disebutkan dalam pertanyaan adalah bukan dari pantun ahli adab dan bahasa dari kalangan ahlussunnah, tetapi itu hanya pantun ahli adab dan bahasa yang bodoh bukan dari ahlussunnah, yang (dalam pantun tersebut) tidak ada aturan mengikat mereka dan ketentuan yang menjadi patokan mereka, mereka adalah orang – orang yang keliru atau dari orang – orang yang membuat khurafat/dongeng, ahli takhayul/dongeng/legenda, karena itu sungguh Anda akan mendengar dan membaca dari pantun – pantun itu terkadang terdapat kalimat kekafiran dan kesyirikan. Maka hukum yang minimal untuk dikatakan tentang qashidah ini adalah bid’ah bahkan yang nampak bagi saya sungguh dia bentuk – bentuk doa, berdo’a kepada negeri wahai penawar derita, dan ini adalah doa yang terlarang.
Selesai dengan Taufiq Allah Subhanahu wa Taala
*) Penerjemah adalah Staf Pengajar di Ma’had Tahfidzul Qur’an “As-Sunnah” Kab. Sidrap, Sulsel.
NASKAH ASLI
حكم نشيد ( ياطيبه يا دوا العياني ) المنتشر بين الناس بشكل لا يصدق فنأمل أن ينشر حكمه بين الناس
جواب الشيخ صالح بن سعد السحيمي حفظه الله
فاحذروا الأناشيد الكفرية والصوفية
السؤال :يقول هناك أناشيد اسلامية تقول ألا يا الله بنظرة من العين الرحيمة تداوي كل ما بي من أمراض سقيمة فهل في هذا شيئ ؟ ألا يا الله بنظرة من العين الرحيمة تداوي كل ما بي من أمراض سقيمة.
جواب الشيخ صالح بن سعد السحيمي:
لا أدري هل يقصد من كلمة من عين ر حيمة, هل يقصد أنه يدعو الله أن يسخر له أحدا من المخلوقين أو يقصد الله سبحانه و تعالى, على كل حال حتى و لو كان يقصد الله لا يجوز التعبير بمثل هذه العبارات, الصفات لا تدعى, نعم لله العين، لله عينان تليقان بجلاله و عظمته، لكن ما تقول يا عين الله ، حتى أن بعض العلماء قال لو دعا الصفة كفر, لو قال يا قدرة الله يا رحمة الله يا يد الله يا نعمة الله يكفر، هكذا رأى كثير من العلماء, لكن يا أخي أدعو بالأدعية الصريحة الثابتة في الكتاب و السنة و مالك و مال هذه الألفاظ الموهمة التي ربما توقعك إما في بدعة أو في شرك، ربما توقعك إما في بدعة أو في شرك، احذر منها كلها و كل لفظ اعرضه على الكتاب و السنة و على كل حال في الأناشيد في ما يسمى بالأناشيد .. أنا أنبهكم الى شيئ الآن خطر ببالي قريب الأن بجوار الحرم يباع شريط يا طيبة يا طيبة, هذا شرك .. نعم, هذا هو الشرك بعينه , تدعو طيبة من دون الله ! يا دوى العيان! من الذي يشفي المرضى الله أم طيبة!؟ فإذا دعوة طيبة لتشفيك فأنت مشرك, و هذه حتى بين الأطفال الأن متداولة في الجوالات ومتداولة في كل مكان, يا طيبة با طيبة هي هنا بجنب الحرم في التسجيلات, فاتقي الله و انتبه لنفسك, هناك ألفاظ يرددها بعض الناس و هي كفر و هو لا يدري, لا يدري لا يشعر أنها كفر, عذر أو عدم عذر عنه الله لا ندري عنه, لكن هي شرك و هو مشرك, انتبه )... ) ستسمعون أشياء .. أنا عند شريط فيه ممكن مئات الجمل كلها يرددها بعض الناس خصوصا في البلاد العربية, فانتبه لهذا.
مقطع مفرَّغ من فتوى لفضيلة الشيخ صالح السحيمي حفظه الله
... الآن بجوار الحرم يُباع شريط ( يا طيبة يا طيبة ) هذا شرك ، نعم هذا هو الشرك بعينه تدعو طيبة من دون الله؟؟! ، ( يا دوا العيّانَ ) ، من الذي يشفي المرضى ؟؟ الله أم طيبة ؟؟ فإذا دعوت طيبة لتشفيك فأنت مشرك وهذه حتى بين الأطفال الأن متداولة في الجوالات ومتداولة في كل مكان ( يا طيبة ، يا طيبة ) هنا بجوار الحرم في التسجيلات . فاتقي الله وانتبه لنفسك ، هناك ألفاظ يردِّدها بعض الناس وهي كفر وهو لا يدري ، لا يدري ، لا يشعر أنها كفر ، عذره أو عدم عذره عند الله لا ندري عنه لكن هي شرك وهو مشرك . فانتبه !! لا تسمعون أشياء ( أنا عندي شريط فيه - يمكن - مئات الجمل كلها يرددها بعض الناس ) خصوصاً في البلاد العربية .
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=381119401905640
*****************************************
فتوى مفرغة للشيخ صالح السحيمي هل أنشودة يا طيبة يا دوى العيان فيها استغاثة؟
احسن الله اليكم يقول :توجد لعبة للاطفال فيها انشودة تقول: ياطيبة يادوى العيان هل هذا يعتبر استغاثة بغير الله ؟
الجواب :نعم انشودة ياطيبة يادوى العيان فيا رائحة الشرك وقد تكون شركا صراحا وقد طرحت السوال على بعض مشائخنا الكبار كنت عندهم قيل يومين فمنهم من صرح بأنه شرك ومنهم من قال انه فيه رائحة الشرك فانه دعاء ونداء ،والنداء شرك بهذا الشكل فالذي يداوي العيان ،طبعاالمريض .الذي يداوي المريض هو الله عز وجل ( واذا مرضت فهو يشفين ( فكونك تنادي طيبة المدينة فنحن نحب طيبة ،نحب المدينة ولكن محبتنا لها لا تجعلنا نستغيث بها اوبترابها او بأي شي فيها ،هذا لايجوز البته
بل هذا والعياذ بالله يخشى ان يكون شركا فعلينا ان نبتعد عن كل شي فيه شرك او فيه رائحة شرك والذي يظهر لي انه شرك لأنه نداء كما لوقلت ياعلي ،يامحمد ،ياعمرو ،يازيد ولا سيما انه ربطها بدواء العيان اي مريض هذة الأنشودةالتي نسمعها الان تحت الفنادق وفي المحلات يجب أن تزال،يجب وجوبا أن تزال وهي من المنكر الذي يجب على القائمين على هذا الأمر أن يزيلوه ،نعم وكذلك أكثر مايسمى بالاناشيد الاسلامية فيه من هذا القبيل كثيرا منها لا يخلو من أبتهالات واستغاثات او الحانا تشبه الحان النساء اونحو ذلك
http://www.noor-elislam.net/vb/showthread.php?s=4e9a1ef81e50aa4ce32f0edeb0aa9da0&t=4637
*****************************************
فتوى الشيخ عبيد الجابري حفظه الله
" السائل :
أحسن الله إليكم هذا سائل يقول ظهرت في الآونة الأخيرة أنشودة وفيها بعض الألفاظ المشكلة كقوله:
يا طيبة يا طيبة يادوا العيانا !!فهل هذه الفاظ شركية جزاكم الله خيرا ؟
الشيخ: عبيد الجابري - حفظه الله - أقول:
جل الأناشيد مثل المذكورة في السؤال هي ليست من نظم أدباء أهل السنة أبداً ، وإنما هي من نظم جهلة الأدباء الذين ليسوا من أهل السنة لا يضبطهم ضابط ولا يربطهم رابط هم متفلتون ، أو من المخرفة ؛ أهل الخرافة ، ولهذا فإنك تسمع وتقرأ في نظمه أحياناًُ كلمات كفر وكلمات شرك .فأقل ما يقال في هذه القصيدة أنها بدعة ، بل الظاهر لي أنها دعاء ؛ دعاء البلد يادواء العيان .وهذا من الدعاء المحذور " ا هـ .
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=381119401905640
Bismillahirrahmanirrahiim
Hukum nasyid (ياطيبة يادواءالعيانا) yang beredar di tengah manusia dengan bentuk yang tidak benar, sehingga kami mengharap agar disebarkan hukum nasyid tersebut di tengah manusia.
1. JAWABAN ASY-SYAIKH SHOLIH BIN SA’AD AS-SUHAIMI –SEMOGA ALLAH MENJAGA BELIAU-
* HATI-HATILAH DARI NASYID-NASYID KEKAFIRAN DAN BERBAU SHUFIYAH *
Soal : Berkata (penanya) : Disana ada nasyid-nasyid Islami yang berbunyi “Wahai Allah, dengan penglihatan dari mata yang pengasih, mengobati semua yang ada pada diriku berupa penyakit-penyakit” apakah dalam nasyid ini ada masalah?
Jawaban : Saya tidak mengetahui apakah dia memaksudkan dari kalimat : dari mata yang pengasih apakah dia maksudkan bahwa dia berdo’a kepada Allah agar Dia menguasakan kepada salah seorang dari makhluk-Nya atau dia memaksudkan Allah Ta’ala sendiri.
(Yang jelasnya) atas apapun yang dimaksudkan, walaupun dia memaksudkan Allah Ta’ala, tetap tidak boleh (berdo’a) dengan ibarat-ibarat seperti ini. (sebab) sifat-sifat tersebut tidak boleh berdo’a kepada sifat-sifat / dimintai darinya, memang benar Allah memiliki mata, Allah memiliki dua mata tentunya mata penglihatan yang sesuai dengan Kemuliaan-Nya dan Keagungan-Nya, akan tetapi jangan Anda berdo’a dengan mengatakan : Wahai mata penglihatan Allah, sampai-sampai sebagian ulama mengatakan kalau dia berdo’a kepada sifat Allah maka dia kafir, jadi kalau dia berkata : Wahai kekuasaan Allah, Wahai Rahmat Allah, Wahai Tangan Allah, Wahai Ni’mat Allah, maka dia kafir sebagaimana disebutkan dari kebanyakan Ulama. Akan tetapi wahai saudaraku sekalian hendaknya engkau berdo’a dengan do’a-do’a yang jelas datangnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak ada hajat engkau dengan lafadz-lafadz meragukan ini yang terkadang dapat menjerumuskan Anda kepada perbuatan bid’ah atau kesyirikan, berhati-hatilah dari bid’ah dan kesyirikan. Dan hendaknya Anda mengembalikan segala lafadz-lafadz kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Yang jelasnya, berkaitan dengan nasyid-nasyid ini, saya ingin memperingatkan kalian dengan sesuatu yang terlintas di benak saya sekarang ini, apa yang ada di sekitar Al-Haram (Masjid Nabawi) disana dijual kaset “Yaa Thaibah ….. Yaa Thaibah …..” ini adalah kesyirikan, merupakan bentuk kesyirikan dari asalnya karena berdo’a kepada Thaibah (nama lain kota Madinah) sama dengan berdo’a kepada selain Allah Subhanahu wa Taala! Juga lafadz “Wahai Penawar Derita” siapakah yang menyembuhkan, Allah Subhanahu wa Taala atau Taibah?? Jadi, jika engkau berdo’a kepada Thaibah untuk kesembuhanmu maka engkau telah melakukan kesyirikan.
Inilah yang terjadi bahkan tersebar diantara anak-anak sekarang ini, tersebar di HP/telpon genggam, bahkan tersebar dimana-mana nasyid “Yaa Thaibah ….. Yaa Thaibah …..” disini di samping masjid Nabawi (di toko-toko) tasjilat, maka bertaqwalah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap diri Anda. Karena disana ada lafadz-lafadz yang dilantunkan sebagian manusia padahal lafadz-lafadz tersebut padanya kekufuran sementara dia tidak tahu, orang itu tidak tahu dan tidak menyadari bahwa lafadz- lafadz tersebut adalah kekafiran. Apakah dia mendapat udzur di sisi Allah Subhanahu wa Taala atau tidak? Kita tidak tahu, akan tetapi lafadz tersebut adalah kesyirikan dan dia melakukan perbuatan syirik. Maka berhati-hatilah! Jangan kalian mendengar segala sesuatu. Saya memiliki suatu kaset kemungkinan di dalamnya ada ratusan kalimat yang sering dilantunkan sebagian manusia khususnya di negara – negara Arab, maka berhati-hatilah Anda terhadap perkara ini!
2. TRANSKRIP FATWA ASY-SYAIKH SHOLIH BIN SA’AD AS-SUHAIMI
Soal : Berkata (Penanya) semoga Allah berbuat baik untuk Anda – didapati permainan untuk anak-anak yang di dalamnya ada nasyid yang menyebutkan : “Yaa Thaibah ….. Yaa Dawaal Ayana …..” apakah ini teranggap istigatsah kepada selain Allah Subhanahu wa Taala?
Jawaban : Ya, Nasyid ini “Yaa Thaibah ….. Yaa Dawaal Ayana …..” di dalamnya terdapat bau kesyirikan dan terkadang menjadi bentuk kesyirikan secara nyata/terang-terangan. Dan sungguh telah ditanyakan kepada Masyaikh Kibar/Ulama Besar dimana waktu itu saya berada bersama mereka dua hari yang lalu, maka diantara mereka ada yang menyatakan dengan terang – terangan dan pasti bahwa hal itu adalah kesyirikan dan diantara mereka ada yang berkata bahwa itu di dalamnya terdapat bau kesyirikan, sebab hal itu adalah bentuk doa dan panggilan. Dan panggilan dengan jenis ini adalah kesyirikan. Maka yang menyembuhkan penyakit adalah Allah Azza wa Jalla sebagaimana dalam ayat : (Nabi Ibrahim berkata : dan Apabila saya sakit maka Dialah (Allah) yang menyembuhkanku), jadi engkau memanggil/menyeru kepada Thaibah Al-Madinah – dan memang kita semua mencintai Thaibah/Kota Madinah, akan tetapi kecintaan kita tersebut tidak menjadikan kita beristighatsah dengannya atau dengan tanahnya atau dengan apa yang ada terdapat di dalamnya. Ini tidak boleh sama sekali. Bahkan hal ini – wal iyadzu Billah – (dan Allah tempat berlindung) dikhawatirkan sebagai perbuatan syirik, maka kewajiban kita untuk menjauhi segala sesuatu yang di dalamnya terdapat kesyirikan atau hal – hal yang berbau syirik.
Dan nampak bagi saya bahwa hal tersebut adalah perbuatan syirik karena merupakan bentuk panggilan (meminta hajat) sebagaimana halnya (termasuk kesyirikan) jika Anda berkata (memanggil) : wahai Ali, wahai Muhammad, wahai Amr, wahai Zaid apalagi kalau dikaitkan dengan meminta penawar derita orang sakit. Nasyid – nasyid ini yang kita dengar sekarang ini, banyak beredar di sekitar hotel – hotel (dekat masjid Nabawi) dan di toko – toko, semua itu wajib dihilangkan/dimusnahkan.
Sungguh merupakan kewajiban untuk dihilangkan karena dia merupakan kemungkaran dimana menjadi kewajiban atas mereka yang memiliki wewenang dalam hal ini untuk menghilangkannya/memusnahkannya.
Ya, demikian pula halnya dengan apa yang kebanyakan dikenal dengan nasyid – nasyid Islami yang isinya dari jenis (yang haram) ini. Kebanyakan dari nasyid – nasyid tersebut, tidak luput dari bentuk – bentuk doa sepenuh hati dan istigatsah atau bentuk lagu/bernada, menyerupai nada kaum wanita atau yang semisal itu.
3. FATWA ASY – SYAIKH UBAID AL-JABIRI – SEMOGA ALLAH MENJAGANYA –
Soal : - Semoga Allah berbuat baik untuk Anda – penanya berkata : Akhir – akhir ini bermunculan nasyid – nasyid yang didalamnya terdapat sebagian lafadz – lafadz yang bermasalah, seperti perkataan : “Yaa Thaibah ... Yaa Thaibah ... Yaa Dawaal Ayaana” apakah lafadz – lafadz ini merupakan kesyirikan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban : Kebanyakan nasyid – nasyid semisal yang disebutkan dalam pertanyaan adalah bukan dari pantun ahli adab dan bahasa dari kalangan ahlussunnah, tetapi itu hanya pantun ahli adab dan bahasa yang bodoh bukan dari ahlussunnah, yang (dalam pantun tersebut) tidak ada aturan mengikat mereka dan ketentuan yang menjadi patokan mereka, mereka adalah orang – orang yang keliru atau dari orang – orang yang membuat khurafat/dongeng, ahli takhayul/dongeng/legenda, karena itu sungguh Anda akan mendengar dan membaca dari pantun – pantun itu terkadang terdapat kalimat kekafiran dan kesyirikan. Maka hukum yang minimal untuk dikatakan tentang qashidah ini adalah bid’ah bahkan yang nampak bagi saya sungguh dia bentuk – bentuk doa, berdo’a kepada negeri wahai penawar derita, dan ini adalah doa yang terlarang.
Selesai dengan Taufiq Allah Subhanahu wa Taala
*) Penerjemah adalah Staf Pengajar di Ma’had Tahfidzul Qur’an “As-Sunnah” Kab. Sidrap, Sulsel.
NASKAH ASLI
حكم نشيد ( ياطيبه يا دوا العياني ) المنتشر بين الناس بشكل لا يصدق فنأمل أن ينشر حكمه بين الناس
جواب الشيخ صالح بن سعد السحيمي حفظه الله
فاحذروا الأناشيد الكفرية والصوفية
السؤال :يقول هناك أناشيد اسلامية تقول ألا يا الله بنظرة من العين الرحيمة تداوي كل ما بي من أمراض سقيمة فهل في هذا شيئ ؟ ألا يا الله بنظرة من العين الرحيمة تداوي كل ما بي من أمراض سقيمة.
جواب الشيخ صالح بن سعد السحيمي:
لا أدري هل يقصد من كلمة من عين ر حيمة, هل يقصد أنه يدعو الله أن يسخر له أحدا من المخلوقين أو يقصد الله سبحانه و تعالى, على كل حال حتى و لو كان يقصد الله لا يجوز التعبير بمثل هذه العبارات, الصفات لا تدعى, نعم لله العين، لله عينان تليقان بجلاله و عظمته، لكن ما تقول يا عين الله ، حتى أن بعض العلماء قال لو دعا الصفة كفر, لو قال يا قدرة الله يا رحمة الله يا يد الله يا نعمة الله يكفر، هكذا رأى كثير من العلماء, لكن يا أخي أدعو بالأدعية الصريحة الثابتة في الكتاب و السنة و مالك و مال هذه الألفاظ الموهمة التي ربما توقعك إما في بدعة أو في شرك، ربما توقعك إما في بدعة أو في شرك، احذر منها كلها و كل لفظ اعرضه على الكتاب و السنة و على كل حال في الأناشيد في ما يسمى بالأناشيد .. أنا أنبهكم الى شيئ الآن خطر ببالي قريب الأن بجوار الحرم يباع شريط يا طيبة يا طيبة, هذا شرك .. نعم, هذا هو الشرك بعينه , تدعو طيبة من دون الله ! يا دوى العيان! من الذي يشفي المرضى الله أم طيبة!؟ فإذا دعوة طيبة لتشفيك فأنت مشرك, و هذه حتى بين الأطفال الأن متداولة في الجوالات ومتداولة في كل مكان, يا طيبة با طيبة هي هنا بجنب الحرم في التسجيلات, فاتقي الله و انتبه لنفسك, هناك ألفاظ يرددها بعض الناس و هي كفر و هو لا يدري, لا يدري لا يشعر أنها كفر, عذر أو عدم عذر عنه الله لا ندري عنه, لكن هي شرك و هو مشرك, انتبه )... ) ستسمعون أشياء .. أنا عند شريط فيه ممكن مئات الجمل كلها يرددها بعض الناس خصوصا في البلاد العربية, فانتبه لهذا.
مقطع مفرَّغ من فتوى لفضيلة الشيخ صالح السحيمي حفظه الله
... الآن بجوار الحرم يُباع شريط ( يا طيبة يا طيبة ) هذا شرك ، نعم هذا هو الشرك بعينه تدعو طيبة من دون الله؟؟! ، ( يا دوا العيّانَ ) ، من الذي يشفي المرضى ؟؟ الله أم طيبة ؟؟ فإذا دعوت طيبة لتشفيك فأنت مشرك وهذه حتى بين الأطفال الأن متداولة في الجوالات ومتداولة في كل مكان ( يا طيبة ، يا طيبة ) هنا بجوار الحرم في التسجيلات . فاتقي الله وانتبه لنفسك ، هناك ألفاظ يردِّدها بعض الناس وهي كفر وهو لا يدري ، لا يدري ، لا يشعر أنها كفر ، عذره أو عدم عذره عند الله لا ندري عنه لكن هي شرك وهو مشرك . فانتبه !! لا تسمعون أشياء ( أنا عندي شريط فيه - يمكن - مئات الجمل كلها يرددها بعض الناس ) خصوصاً في البلاد العربية .
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=381119401905640
*****************************************
فتوى مفرغة للشيخ صالح السحيمي هل أنشودة يا طيبة يا دوى العيان فيها استغاثة؟
احسن الله اليكم يقول :توجد لعبة للاطفال فيها انشودة تقول: ياطيبة يادوى العيان هل هذا يعتبر استغاثة بغير الله ؟
الجواب :نعم انشودة ياطيبة يادوى العيان فيا رائحة الشرك وقد تكون شركا صراحا وقد طرحت السوال على بعض مشائخنا الكبار كنت عندهم قيل يومين فمنهم من صرح بأنه شرك ومنهم من قال انه فيه رائحة الشرك فانه دعاء ونداء ،والنداء شرك بهذا الشكل فالذي يداوي العيان ،طبعاالمريض .الذي يداوي المريض هو الله عز وجل ( واذا مرضت فهو يشفين ( فكونك تنادي طيبة المدينة فنحن نحب طيبة ،نحب المدينة ولكن محبتنا لها لا تجعلنا نستغيث بها اوبترابها او بأي شي فيها ،هذا لايجوز البته
بل هذا والعياذ بالله يخشى ان يكون شركا فعلينا ان نبتعد عن كل شي فيه شرك او فيه رائحة شرك والذي يظهر لي انه شرك لأنه نداء كما لوقلت ياعلي ،يامحمد ،ياعمرو ،يازيد ولا سيما انه ربطها بدواء العيان اي مريض هذة الأنشودةالتي نسمعها الان تحت الفنادق وفي المحلات يجب أن تزال،يجب وجوبا أن تزال وهي من المنكر الذي يجب على القائمين على هذا الأمر أن يزيلوه ،نعم وكذلك أكثر مايسمى بالاناشيد الاسلامية فيه من هذا القبيل كثيرا منها لا يخلو من أبتهالات واستغاثات او الحانا تشبه الحان النساء اونحو ذلك
http://www.noor-elislam.net/vb/showthread.php?s=4e9a1ef81e50aa4ce32f0edeb0aa9da0&t=4637
*****************************************
فتوى الشيخ عبيد الجابري حفظه الله
" السائل :
أحسن الله إليكم هذا سائل يقول ظهرت في الآونة الأخيرة أنشودة وفيها بعض الألفاظ المشكلة كقوله:
يا طيبة يا طيبة يادوا العيانا !!فهل هذه الفاظ شركية جزاكم الله خيرا ؟
الشيخ: عبيد الجابري - حفظه الله - أقول:
جل الأناشيد مثل المذكورة في السؤال هي ليست من نظم أدباء أهل السنة أبداً ، وإنما هي من نظم جهلة الأدباء الذين ليسوا من أهل السنة لا يضبطهم ضابط ولا يربطهم رابط هم متفلتون ، أو من المخرفة ؛ أهل الخرافة ، ولهذا فإنك تسمع وتقرأ في نظمه أحياناًُ كلمات كفر وكلمات شرك .فأقل ما يقال في هذه القصيدة أنها بدعة ، بل الظاهر لي أنها دعاء ؛ دعاء البلد يادواء العيان .وهذا من الدعاء المحذور " ا هـ .
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=381119401905640